Echinocereus Rigidissimus

21 3 0
                                    

Terus terang, aku merasa kasihan dengan Sadewa. Dia diomeli habis-habisan oleh Bu Karisma karena nggak mengerjakan tugas kimia. Sialnya, Bu Karisma meminta Sadewa untuk banyak belajar dariku. Dia nggak menjawab, hanya melirik beberapa detik ke arahku. Tatapannya tajam sekali, mirip buto ijo kalau lagi melotot.

Kalau tahu aku menjadi teman belajarnya, Bu Karisma pasti akan memarahiku juga. Aku nggak lagi menganggap diriku sebagai guru privat karena rasanya belum pantas dan agak berlebihan. Teman belajar terdengar lebih friendly.

“Lihat Kalova! Dia saya kasih tugas banyak dan semuanya bisa selesai. Kamu hanya lima soal, tapi nggak ada satu pun yang dikerjakan. Mau kamu apa sih, Sadewa?” tanya Bu Karisma gemas.

“Saya mau Ibu kasih kesempatan satu kali lagi,” jawab Sadewa dengan entengnya.

“Baik. Kerjakan soal ini.” Guru Kimia yang terkenal sabar itu memberi selembar kertas. “Kumpul besok pagi sebelum jam delapan.”

Sadewa mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
Cowok malang itu pamit pergi, meninggalkan aku yang masih berdiri tegap di depan meja Bu Karisma.

“Tugas kamu saya koreksi dulu, ya. Ambil hasilnya di jam istirahat kedua,” tuturnya. “Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa bantu Sadewa mengerjakan tugasnya. Ingat, hanya membantu, bukan mengerjakannya.”

Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya nggak gatal sama sekali.

“Ibu tahu kamu nggak sekelas sama dia. Tapi nggak ada salahnya juga, kan kamu membantu dia? Kalau mau bantu orang, jangan pilih-pilih.”

Aku belum menjawab, tapi sudah mendapat ultimatum seperti itu. Antara perintah dan pemaksaan secara halus bedanya sangat tipis. “Akan saya coba, Bu.”

“Bagus,” ucapnya. “Kamu memang nggak pernah mengecewakan saya, Kalova.”

Aku tersenyum kecut. Mendengar kalimat terakhirnya, entah mengapa justru menambah beban berat di pundakku. Nggak pernah mengecewakan, itu artinya beliau selalu berekspektasi tinggi kepadaku. Ketika aku nggak bisa memenuhi ekspektasinya, aku takut beliau justru akan kecewa berat.

Aku keluar dari kantor setelah mendapat tugas baru dari Bu Clara, guru fisika yang humoris. Sangking humorisnya, beliau pernah disarankan oleh anak muridnya untuk mengikuti audisi Stand up comedy, tetapi ditolak. Sayangnya untuk urusan tugas, Bu Clara nggak pernah bercanda. Lihat saja! Sepuluh soal dan dua lembar catatan harus selesai besok siang. Kalau sampai nggak selesai, mungkin aku akan menjadi bahan roasting selama dua jam pelajaran. Sangat menyebalkan, bukan?

Aku mengamati keadaan sekitar. Kenapa nggak ada tanda-tanda kemunculan Sadewa? Biasanya aku selalu bertemu dia di depan kantor ini. Apa mungkin dia marah gara-gara nggak dibantu mengerjakan tugas semalam? Apalagi dia tahu kalau ternyata tugasku dan tugasnya sama setelah mendengar omelan Bu Karisma.

Seharusnya aku merasa biasa-biasa saja. Namun, entah mengapa perasaanku jadi nggak enak. Pikiranku selalu tertuju kepadanya. Untuk pertama kalinya, aku berharap bisa bertemu dengan Sadewa secepat mungkin.

Sampai di kelas, aku belum juga bertemu dengan Sadewa. Maria yang sedang khusyuk membaca novel menyadari gelagat anehku.  Nggak biasanya dia menatapku selama beberapa detik. Meskipun satu bangku, tapi kami jarang sekali berinteraksi.

“Lo celingukan lagi nyari apaan, sih?” Maria meletakkan bookmark di novelnya.

“Oh, enggak. Nggak nyari apa-apa kok,” jawabku.

“Aneh,” tukasnya.

Aku nggak menanggapi ucapan Maria. Meskipun dia sering menjadi bahan bully-an karena bentuk tubuhnya yang oversize, tetapi mulutnya lumayan tajam. Kalo ngomong asal jeplak.

Kalova & SadewaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin