Uebelmannia

18 6 0
                                    

Sadewa memang nggak main-main dengan ucapannya. Hari ini aku harus datang ke rumahnya untuk mulai belajar. Ada untungnya juga Tante Devina meliburkan kami selama satu Minggu. Jadi aku memiliki waktu untuk mengurus pekerjaan baruku sebagai guru les.

Sepanjang perjalanan pikiranku nggak bisa tenang. Bagaimana respon ibunya? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau Mamanya nggak setuju dengan pilihan Sadewa? Semua pertanyaan itu terus berputar sementara aku sendiri nggak tahu  jawabannya.

Sopir ojek online berhenti di kawasan perumahan elit. Bangunan rumah megah terlihat sampai ke ujung jalan. Melihat pemandangan ini, aku semakin nervous. Dasar norak!

Sadewa memintaku menunggu di pos satpam. Ia sempat meneleponku, padahal aku nggak pernah memberinya nomor ponsel kepadanya. Kalau aku ingat, akan kutanyakan nanti.

“Sudah nunggu lama?”

Aku mengelus dada. “Lama-lama gue mati jantungan nih.”

Sadewa tertawa. “Padahal gue nggak ngagetin. Lo nya aja yang gampang kagetan. Kebanyakan melamun sih!”

“Enggak juga. Lo datang tiba-tiba dan tanpa suara. Kayak makhluk halus aja.”

“Enak aja. Ayo jalan!”

“Jalan ke mana? Bukannya kita mau belajar?” tanyaku.

“Gue pikir lo pinter beneran,” sindirnya. “Ya ke rumah gue, lah. Memang mau ke mana?”
Sialan! Kenapa aku jadi gagal fokus begini, sih?

Aku dan Sadewa berjalan menuju rumahnya. Nggak terlalu jauh. Hanya berjarak dua rumah dari pos satpam. Pantas saja dia jalan kaki saat menjemputku. Mana datangnya cepat sekali dan tanpa aba-aba. Sudah kayak makhluk astral saja!

Sadewa membuka pintu gerbangnya. Setiap sudut rumah bagian depan terdapat CCTV. Aku berusaha terlihat biasa saja meskipun bagian jiwaku yang lain kepo setengah mati dengan bangunan rumahnya. Tinggi, besar dan mewah. Hanya tiga kata itu yang mampu kuucapkan untuk menggambarkan rumah Sadewa. Sesekali aku melirik ke kanan dan kiri untuk melihat dekor rumahnya yang di dominasi dengan warna krim.

“Lo duduk dulu, Kal. Gue mau panggil Mama,” ucap Sadewa.

Aku mengangguk dan mulai mengatur napas. Oke. Mungkin bagi orang lain, ini adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun untuk ukuran manusia sepertiku yang jarang bersosialisasi, tentu sangat luar biasa. Aku nggak takut bertemu dengan orang baru. Namun aku bingung bagaimana aku harus bersikap. Obrolan apa yang harus kami bahas dan bagaimana caranya agar kami nggak kehabisan obrolan.

“Wah, teman Sadewa sudah datang, ya?” tanya wanita cantik dengan rambut disanggul rapi.

“Iya, Tante. Saya Kalova, te .. man Sadewa yang akan belajar bersamanya,” ucapku ragu-ragu. Masalahnya, aku sendiri nggak yakin apakah kami bisa dikatakan berteman. Aku juga nggak cukup percaya diri mengaku sebagai guru privat Sadewa.

“Yang sabar ya kalau mengajari Sadewa. Tante sudah pusing harus gonta-ganti guru les privat. Anaknya bandel sekali,” ungkap Mama Sadewa.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Saya usahakan yang terbaik, Tante.

“Ma, jangan ngomong aneh-aneh sama Kalova!” teriak Sadewa dari lantai atas.
Mamanya hanya bisa tertawa.

Mama Sadewa orangnya ramah sekali. Beliau banyak bercerita tentang nilai-nilai Sadewa yang anjlok. Syukurlah, aku jadi nggak perlu berpikir keras untuk mencari bahan obrolan. Karena dalam kesempatan ini, Mama Sadewa lebih dominan berbicara daripada aku.

Salah satu asisten rumah tangga datang membawa jus jeruk dan camilan. Mama Sadewa pamit pergi setelah mempersilakan aku untuk menikmati minuman.

Sadewa turun dari lantai dua sambil membawa setumpuk buku cetak Kimia yang masih terlihat baru. Mulai dari buku latihan soal, sampai kumpulan rumus-rumus. Lengkap. Memiliki harta karun sebanyak ini, seharusnya dia bisa lebih pintar daripada aku.

Kalova & SadewaWhere stories live. Discover now