Perfect Wife (Vie)

205 11 0
                                    


Sudah setengah jam aku mondar-mandir di kamar ini sambil terus menekan tombol call yang dijawab dengan ucapan yang sama : nomer yang Anda hubunyi sedang tidak aktif.

"Huft, gue beneran nggak suka kalau Gilang begini, Nay." Kusentuh lagi layar yang kalaupun aku pejamkan mata pasti udah hafal letak simbol hijau bergambar telepon itu. "Heran deh, Gilang ini ngapain sih sampai ponselnya gak aktif gini."

"Ya ampun Vie, lo parnoan amat sih, jelas-jelas sejam yang lalu Gilang bilang mau bawa anak-anak jalan, ya berarti mereka masih menikmati jalan-jalannya. Mungkin ponsel Gilang habis batere." Naya tak sedikitpun berpaling dari posisi nyamannya di kasur. Dia menepuk-nepuk bagian empuk di samping mengundangku untuk bergabung.

"Tumben amat habis batere. Biasanya tuh gak pernah lepas dari ponsel. Gue khawatir banget karena tadi nggak sempat pesan ke Gilang untuk nggak sembarangan kasih makanan ke anak-anak. Arsy nggak bisa konsumsi sembarang makanan, ntar alerginya kumat. Gue takutnya Gilang lupa itu kalau udah keasyikan jalan lalu jajan di luar rumah." Aku masih berusaha menghubungi Gilang yang nomornya tak kunjung aktif.

Aku melihat dengan ekor mata Naya menggeleng kearahku, "sempurna banget lo jadi isteri dan ibu ya, Vie, ajarin kita doooong. Gue jadi merasa bersalah liat lo sering banget ngecekin rumah." Tak kuhiraukan lagi ucapan Naya yang mencoba menggoda. Mungkin bagi Naya yang sering pergi dinas ke luar kota, meninggalkan rumah adalah hal biasa. Tidak sepertiku yang sangat jarang berpergian sendiri. Akhirnya, karena aku tak juga menggubris ledekannya, Naya meraih ponsel dan berselancar di dunia maya atau mungkin kembali mengecek email kantornya.

"Yeaaayy!" aku memekik senang saat kali ini nomor Gilang aktif. Naya yang dari tadi serius menekuri ponselnya terlonjak kaget dan mengirimkan pelototan yang kubalas dengan cengiran.

"Sayang, anak-anak makan apa tadi?" itu yang pertama kutanyakan saat Gilang menerima panggilan videoku. Aku sadar ini berlebihan tapi aku benar-benar khawatir.

Tiga bulan belakangan Gilang jarang bersama anak-anak. Sedari dulu memang Gilang sangat rajin bekerja dan sering lembur. Namun, sejak promosi jabatan dan beralih menjadi Senior Manager Talent Recruitment and Talent Development, Gilang menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota. Perusahaan tempatnya bekerja memang sedang ekpansi besar-besaran dan banyak merekrut pegawai baru. Akhirnya Gilang sering ke luar kota untuk memantau langsung pemilihan calon karyawan, juga memberikan pelatihan kepada para karyawan untuk pengembangan potensi mereka baik di kantor pusat maupun di kantor cabang yang ada di luar daerah. Aku tahu seharusnya aku percaya pada Gilang. Tak mungkin seorang ayah mencelakakan anaknya kan? Hanya saja rasa khawatir ini tetap selalu ada.

"Aku cuma khawatir kamu lupa kalau Arsy nggak bisa makan sembarangan," senyumku mulai mengembang mendengar jawaban Gilang di seberang bahwa anak-anak aman dan terkendali di bawah pengawasannya.

"Masih ada waktu kalau anak-anak mau nonton, tapi nggak lebih dari satu jam," aku tegaskan suaraku saat mengucapkan kalimat terakhir sambil melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam waktu Bali, berarti sekitar jam enam waktu Jakarta. Terdengar sorakan dari Alvin dan Arsy. Tak berapa lama, kudengar ada kegaduhan terjadi, yang aku yakin karena mereka menginginkan tontonan yang berbeda. Gilang menengahi keduanya dengan sabar. Aku hanya tersenyum menanggapi si kecil yang merajuk karena giliran menontonnya belum tiba. Dia merampas ponsel dari tangan ayahnya dan menyapa dengan suara imutnya.

"Bunda, Arsy mau nonton jugaaaa," suaranya terdengar. Kamera ponsel bergerak tak tentu arah di genggamannya. Aku bertanya perasaannya saat pergi bersama ayah yang dijawab dengan cerita panjang lebar dan senyum bahagia. Sepertinya dia lupa kekesalannya.

[TELAH TERBIT] Marriage BluesWhere stories live. Discover now