Leaving so soon? (Vie)

79 6 0
                                    

Aku menghirup udara Jakarta dalam-dalam saat menjejakkan kaki kembali di Bandara Soekarno-Hatta. Panasnya Jakarta menyambut kami siang ini. Ghe yang dari tadi kuingatkan untuk memakai sun glasses sekarang kebingungan membongkar tas tangannya untuk mencari d imana benda itu terselip. Kami bertiga hanya tertawa melihat tingkahnya.

Di antara kami Ghe yang paling santai tapi juga selalu keteteran. Kami sering meledek Ghe, bagaimana bisa pengusaha sukses seperti Ghe sering terlupa hal-hal kecil? Ghe sungguh bertolak belakang dengan aku yang serba detil, sampai terkadang mereka juga merasa terdikte dengan list-list atau rencana-rencana yang kurincikan saat kami ingin melakukan sesuatu. Mereka selalu memotong pembicaraan saat aku akan menjelaskan detil pekerjaan atau perjalanan yang kami lakukan. Aku terbayang diskusi kami semalam tentang rencana trip ke Jepang tahun depan. Aku akan menyusun detilnya meskipun saat eksekusi mereka akan menolaknya dan akhirnya aku yang akan ikut ide gila mereka untuk melakukan hal yang ada di depan mata saja dengan dalih nggak mau repot. Seperti perjalanan kami kali ini, entah berapa listku yang mereka tolak. Meski begitu, aku bahagia melakukan perjalanan bersama mereka, sahabat-sahabatku, di mana aku bisa benar-benar bebas menjadi aku.

Aku berkali-kali menghubungi ponsel Gilang tapi tidak dijawab dan sekarang aku belum menemukan keberadaannya. Aku tersenyum melihat suami Ghe dan Farah yang tengah menyambut istri mereka dengan senyum semringah. Aku berjalan bersisian dengan Nay yang terlihat lesu.

"Mau ketemu kesayangan kok lesu sih, neng?" Godaku.

"Abi baru berangkat dari rumah buat jemput gue, itu tandanya gue harus menunggu paling nggak satu jam, Vie. Sebenarnya gue nggak masalah harus nunggu lama kalau alasannya masuk akal. Lo tahu, setelah panggilan ke sebelas dia baru jawab dan bilang lupa, rasanya pengen gue telan tu orang." Meski jawaban Naya membuat geli, aku tak berani tertawa, aku tahu betapa kesalnya dia saat ini pada suaminya.

Dari kejauhan aku melihat Gilang melambai ke arahku dengan Alvin dipunggung dan Arsy digendongannya, aku memberi isyarat dengan anggukan.

"Lo mau gue temenin sampai Abi datang?" Aku menawarkan diri. Naya tipe yang paling sebal jika disuruh menunggu. Aku yakin saat ini dia pasti sangatlah kesal dan marah pada Abi.

Naya menggelengkan kepala. "Lo lanjut aja Vie, kasian tuh suami lo gendong dua bocah bongsor begitu. Gue gak papa kok nunggu." Naya meyakinkan. Aku pun mengangguk dan setelah saling berpelukan, kami berjalanan berlawanan arah, Naya menunggu Abi dan aku menghampiri Gilang.

"Sweetheart," Gilang menyambutku dengan kecupan hangat dan pelukan, begitu juga dengan Alvin dan Arsy yang langsung memelukku seperti tidak bertemu setahun. Ah, mungkin setelah tiga hari tidak di rumah, mereka merindukanku juga. Mataku tetiba menangkap koper besar yang ada di belakang Gilang. Aku melempar tatapan penuh tanya pada Gilang yang dijawab dengan senyum mautnya.

Gilang memang memiliki wajah tampan, dengan struktur tulang yang jelas. Rambut sehitam jelaga serta pesona matanya yang jernih dan meneduhkan dengan sepasang alis lebat yang menaungi, membuat Gilang semakin memesona. Belum lagi rambut halus yang bekas cukurannya selalu tampak membuat jejak biru di daerah dagu dan rahangnya yang kokoh itu membuat Gilang semakin terlihat maskulin. Terkadang, saat Gilang tersenyum manis seperti tadi, aku bertanya-tanya bagaimana bisa lelaki setampan ini menjadi suamiku.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Gilang malah membimbing kami menuju salah satu kafe di bandara.

Setelah duduk dan memesan beberapa menu, baru Gilang berkata, "Honey, aku harus ke Yogya, ada training karyawan baru dan aku harus ke sana sebagai salah satu pengisi materi."

"Kenapa kamu nggak bilang" Aku terkejut mendengar apa yang disampaikan Gilang. Biasanya dia selalu memberitahukan jauh-jauh hari jika dia hendak bertugas ke luar kota.

"Aku nggak mau kamu jadi kepikiran trus nggak nikmatin acara kalian." Gilang menjelaskan dengan lembut. "Kamu kan jarang banget liburan sama temen-temen kamu."

"Setidaknya kamu bilang tadi, sebelum aku terbang," aku mulai kesal.

"Menurutku nggak ada bedanya, Sayang. Aku bilang ke kamu tadi atau sekarang. Toh, akhirnya kamu tahu. Lagian aku mau lihat kamu dulu sebelum terbang ke Yogya. Mastiin kamu dan anak-anak baik-baik saja sebelum aku tinggalkan," Gilang menjelaskan sambil mengangkat Arsy ke pangkuannya. Bocah itu menyodorkan puding yang kami pesan ke mulut Gilang yang disambutnya dengan senang. "Aku juga kan kangen lihat kamu setelah tiga hari ditinggal."

Mendengar rayuan Gilang, bukannya senang, aku malah bertambah kesal. Kalau dia rindu keberadaanku, kenapa langsung pergi meninggalkanku?

"Aku udah pamit sama anak-anak, kok, kamu nggak usah khawatir." Gilang kembali menyantap puding yang disodorkan Arsy ke mulutnya.

"Kapan pelatihannya dimulai?" Aku tak lagi membahas alasan kenapa dia tidak mengomunikasikan kepergiannya padaku. Percuma, Giang pasti punya seribu jawaban masuk akal.

"Besok pembukaan dan pengenalan lingkungan kerja, Selasa siang aku ngisi materi training." Jus jeruk yang ada di mulut tak mampu kutelan dan akhirnya masuk ke hidung, membuat hidungku perih dan aku terbatuk-batuk sampai air mataku ke luar. Alvin yang duduk di sebelah menepuk-nepuk pelan punggungku. Gilang mengusap kepala dan menyeka hidungku dengan tisu. Setelah kurasa mampu untuk bersuara aku memuntahkan kekesalanku.

"Ini masih hari minggu dan kamu buru-buru terbang ke Yogya untuk agenda hari selasa?" Aku menekan suaraku agar tak menimbulkan keributan. Seandainya bisa, aku ingin berteriak saat mengucapkannya. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Gilang, jangankan untuk melepas rindu, bahkan aku belum menginjakkan kaki di rumah, kami harus berpisah lagi karena acara yang dilaksanakan dua hari lagi.

"Sayang, maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kecewa. Acara pelatihan kali ini cukup besar karena untuk regional Jawa tengah, termasuk untuk jabatan manajer ke atas." Gilang menepuk-nepuk lembut tanganku. "Aku ingin memastikan semua berjalan sempurna. Aku juga ingin beristirahat cukup supaya saat memberikan training bisa tampil prima."

Ya ampun, mungkin dia lupa kalau jarak Jakarta dan Yogya jika ditempuh dengan pesawat tak sampai 2 jam. Kenapa tidak berangkat besok jika jadwal pelatihan masih Selasa?

Aku tak menjawab lagi, bukan karena tidak tahu apa yang harus diucapkan tapi karena aku takut ketika aku membahasnya aku tak bisa menjamin kami tidak jadi tontonan orang ramai karena teriakanku. Kutelan semua kekecewaanku, tak apa, ini memang resikoku yang memiliki suami dengan jabatan baru yang menuntut untuk selalu bepergian.

"Kamu nyusun baju sendiri? Dasi dan perlengkapan lain sudah masukkan? Vitamin kamu dibawa juga, kan? Power bank, charger dan lainnya nggak lupa di ..."

Gilang menempelkan telunjuknya di bibirku, "Aku sudah menyiapkan semuanya, kalaupun ada yang tertinggal, nanti bisa disiapkan di sana."

Aku mengangkat bahu pasrah. Aku yakin pasti banyak barang yang Gilang lupakan. Gilang tidak pernah menyiapkan barang bawaan sendiri sebelum ini, bahkan dia selalu saja kebingungan di mana letak kaus kaki atau dasi dalam lemari.

Aku tak mengucapkan apa-apa lagi, hanya mengangguk saat dia pamit dan memberikan kecupan ringan di dahiku. Mungkin karena kemarahan dan kekecewaan yang masih merajai hati sehingga aku enggan menatap mata Gilang. Aku tetap menekuri minuman di gelasku saat Gilang berpamitan dengan Alvin dan Arsy sembari berjanji akan membawakan oleh-oleh yang mereka inginkan.

Dengan langkah gontai, kugeret koperku dan meminta Pak Rahmat membawa koper dan barang lainnya menuju mobil dan bersiap beranjak. Kugiring anak-anak mengikuti langkah Pak Rahmat tanpa peduli Gilang belum selesai bicara dengan mereka.

Aku sengaja berbuat begitu. Saat ini aku ingin Gilang paham kalau aku marah dan kecewa padanya. Hanya saja, aku jadi ragu, mungkin saja dia pun tidak peduli dengan perasaanku kali ini karena dia tetap pergi meski tahu aku akan kecewa. Aku melangkah lemas menggandeng Alvin dan Arsy. Aku tak menyangka harus menyambut diriku sendiri dalam kepulangan kali ini.

[TELAH TERBIT] Marriage BluesWhere stories live. Discover now