Can I tell you a secret? (Naya)

133 8 0
                                    



Akhirnya, kami sampai juga di hotel. Kulirik Vie yang sibuk dengan ponselnya. Mungkin, dia sedang mengirimkan sederet daftar tugas pada Gilang. Hari kedua kami di Bali sungguh sangat menyenangkan dan mengenyangkan. Bagaimana tidak, rasanya hari ini kami tidak berhenti mengunyah.

Seperti dugaan semua orang, Vie sudah memiliki daftar aktifitas dan juga rekomendasi tempat makan yang cocok untuk menghabiskan waktu di Bali. Kami bahkan sudah meninggalkan hotel jam empat pagi, demi mengejar matahari terbit di Sanur, padahal hotel kami terletak di daerah Seminyak. Alasan Vie, kalau kita pergi bersama keluarga atau untuk urusan kantor, tidak mungkin kami akan mau menyempatkan diri untuk menjadi sunrise and sunset hunter.

Setelah itu, Vie sudah siap dengan daftar tempat sarapan di sekitar Sanur yang bisa dengan mudah kami datangi. Kenyang sarapan, kami kembali ke hotel─hanya untuk mandi, berganti baju, dan mengecek anak-anak. Setelah itu, Vie menyeret kami ke wisata kuliner yang begitu lengkap, dari mulai brunch ala western, gelato, nasi Bali, hingga beberapa kafe kopi dan bakery kekinian. Hari pun ditutup dengan kembali mengejar matahari terbenam di salah satu beach club di Seminyak.

"Gue mandi duluan, ya."

Tanpa menunggu persetujuanku, Vie sudah langsung bergegas mengambil baju baru dan koper, kemudian buru-buru ke kamar mandi. Vie yang sering kita ledek Clean Freak, memang paling tidak tahan kalau ada hal yang kotor, termasuk tubuhnya sendiri. Mandi dua kali−kadang lebih−adalah hal biasa bagi Vie.

Sementara itu, aku hanya ingin memejamkan mata dan tidur. Bangun di saat matahari saja belum terbit sungguh melelahkan. Apa mandi besok saja, ya? Ih, tapi tadi di pantai pasti banyak pasir, belum lagi asap rokok di berbagai kafe yang kita kunjungi. Rambut pendekku yang sebatas bahu rasanya kusut dan bau. Dengan malas-malasan, aku membuka ponsel dan menelepon Abi. Di Jakarta, waktu masih menunjukkan hampir jam delapan malam. Aira pasti masih bangun.

Sayangnya, Abi tidak menjawab teleponku. Berhubung sudah malam, aku tidak bisa menelepon Diah karena dia hanya menjaga Aira sampai jam lima sore. Selebihnya, hanya Abi dan Aira berdua. Ini yang sebenarnya membuatku khawatir. Aku takut Abi terlalu sibuk sendiri dan lupa akan kebutuhan Aira. Bisa saja Abi, memberikan ponsel pada Aira dan membiarkannya bermain ponsel supaya Aira tidak mengganggu dirinya yang entah sibuk apa.

Aku pun mengalihkan jariku dan membuka daftar pesan. Seharian ini, aku memang memaksakan diri untuk tidak mengecek email ataupun Whatsapp, kecuali untuk berbicara dengan Abi. Toh, hari ini hari Sabtu. Sebuah nama menarik perhatianku begitu aku scrolling pesan yang masuk.

EZRA: Hi, Nay. Jadinya gimana?

Pesan yang begitu singkat, tapi memiliki sejuta makna. Pertanyaan yang tampak begitu polos, tapi membuatku pusing tujuh keliling untuk menjawabnya. Ezra Prambudi, aku tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengannya, itu pun secara tidak sengaja.

Ezra, orang yang dengan sepenuh sadar aku hindari, terutama saat aku tahu dia sudah kembali ke Jakarta secara permanen. Ezra, orang yang dulu mengisi hari dan harapanku. Ezra yang pernah berada di sampingku begitu lama, orang yang tahu benar perjuanganku untuk bisa bertahan hidup dan lulus kuliah, setelah ayahku meninggal dunia.

[TELAH TERBIT] Marriage BluesWhere stories live. Discover now