Back to Reality (Naya)

79 3 0
                                    

"Andai bisa seperti ini lebih lama," ujar Farah dengan nada penuh penyesalan. Kulirik Farah yang terbaring di kursi malas di sampingku. Tubuhnya yang terbalut pakaian renang berwarna cerah tampak begitu rileks dan santai.

Saat ini kami berempat tengah leyeh-leyeh menghabiskan waktu sebelum waktu check-out tiba. Kami semua memboikot rencana Vie yang awalnya hendak mengajak kami berbelanja. Kalau harus menghabiskan waktu di luar hotel, buat apa kami memesan kamar di salah satu resort dengan pantai di depannya? Akhirnya, Vie mengalah dan di sinilah kami, bersantai di tepi kolam renang, di bawah lindungan payung pantai.

"Mungkin lo harus sesekali berlibur gini sama laki lo. Suasana rileks juga bisa bantu untuk bisa cepet dapat anak, loh," ujar Ghe. Dari kami berempat, memang hanya Farah yang belum memiliki anak. Kami sering sekali mendengarkan keluh-kesahnya dalam upaya Farah dan Nathan, suami Farah, untuk bisa mendapatkan keturunan.

"Tuh, dengerin kata orang yang udah punya tiga anak, " ledekku pada Ghe. Kadang kami berseloroh bahwa kami berempat ini sungguh pas hitungannya dalam perolehan anak. Ghe punya tiga anak, disusul Vie dengan dua anak, lalu aku satu anak, dan Farah yang masih nol.

Farah hanya mengangguk-anggukkan kepala, mungkin nasihat itu sudah pernah dia dengar juga sebelumnya. "Maunya sih gitu, tapi Nathan sibuk terus."

"Halah, kayak lo ga super sibuk aja, sih." Aku menimpali perkataan Farah yang memang juga sangat sibuk di pekerjaannya sebagai konsultan di salah satu perusahaan konsultan manajemen ternama. Farah hanya cengengesan saja mendengar ledekanku.

"Kapan-kapan bisalah kita pergi berempat lagi, yang agak jauh gitu, ke Jepang kek, apa ke mana gitu." Ghe kembali berkata.

"Jepang oke tuh, pas musim sakura ya. Gue uda ada daftar tempat yang wajib dikunjungi saat sakura." Vie menyambut dengan penuh antusias, yang dibalas dengan erangan yang lain. Pergi ke Bali saja, tempat yang sudah sering didatangi, sudah sangat melelahkan jika harus menuruti daftar Vie, apalagi kalau pergi ke Jepang atau tempat yang belum pernah kita datangi.

Farah menutup wajahnya dengan topi pantai sembari berkata, "Vie, ke sana aja belum, lo uda bikin list."

"Loh, namanya juga rencana. Lagian itu list yang gue bikin pas harusnya pergi ke Jepang bulan April lalu," ujar Vie tak mau kalah.

"Oh yang lalu batal itu? Gara-gara Gilang harus ada workshop atau apa gitu?" tanyaku sambil mencoba mengingat-ingat. Vie mengangguk dan matanya menatapku tajam, seperti memberi sinyal sesuatu. Hmm, apakah kejadian itu berkaitan dengan apa yang diceritakan Vie kemarin malam? Aku pun langsung diam dan memilih menyibukkan diri dengan meminum air kelapa milikku. Rasanya yang manis dan segar membuat dehidrasiku terasa berkurang. Entah kenapa aku selalu suka air kelapa saat pergi ke Bali atau daerah pantai lainnya, tapi paling malas meminumnya di rumah sendiri.

"Tiba-tiba aja batal, padahal semuanya udah siap. Yah, untung hotel bisa dibatalkan, jadi rugi di tiket aja. Namanya juga tiket promo, gak bisa cancel. Gara-gara gak jadi ke Jepang, akhirnya Gilang ngajak ke Singapura biar anak-anak seneng bisa ke Universal Studio. Beda banget ya kan, Singapura sama Jepang, cuma ya udah mau gimana lagi." Vie melanjutkan ceritanya panjang lebar.

Cerita Vie sungguh membuatku iri. Entah kapan terakhir kalinya aku pergi berlibur. Rasanya hidupku hanyalah kerja dan rumah. Sepulang kerja pun aku harus langsung mengurus Aira karena aku tak mau Aira merasa jauh dariku. Aku memang bekerja, tapi aku usahakan untuk 100% mengurus Aira saat aku ada di rumah. Saat Aira sudah tidur, terkadang aku masih mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda atau mengerjakan proyek freelance-ku.

Aku menghela nafas panjang dan berkata, "Setidaknya lo masih bisa liburan, kalau gue kayaknya baru kali ini bisa pergi jalan-jalan selain urusan kantor."

[TELAH TERBIT] Marriage BluesWhere stories live. Discover now