Nervous (Vie)

143 4 0
                                    

Ini hari kepulangan Gilang, jika tidak ada perubahan jadwal, maka Gilang akan sampai rumah pukul tiga sore. Sejak pagi aku sudah mondar-mandir mengelilingi rumah tanpa tujuan yang jelas. Anehnya setiap benda yang kupegang pasti jatuh atau setiap aku melakukan pekerjaan sekecil apapun pasti akan membuat kesalahan. Seperti barusan, aku menuangkan jus jeruk ke gelas Arsy yang meminta susu.

"Bunda kok salah-salah mulu?" Bibir Arsy cemberut melihat cairan kuning yang kutuang ke gelasnya.

"Arsy mau susu, Bunda," rengeknya. Aku hanya bisa menepuk jidat dan mengucapkan maaf berulang-ulang sampai Bi Yati datang dan mengambil alih pekerjaan melayani Arsy.

"Ibu istirahat saja, biar saya yang urusin anak-anak. Sepertinya Ibu sedang banyak pikiran." Aku tak menjawab namun menuruti apa yang diucapkannya Bi Yati.

Aku kembali ke kamar, mencoba mengalihkan perhatian dengan duduk di pinggir jendela menikmati taman. Sia-sia, aku masih tak bisa tenang. Kupandangi jam yang menggantung indah di dinding, gerakan jarum detiknya terasa kuat sampai mengguncang jantungku, aku mengalihkan pandangan.

Aku melirik ngeri ponsel yang tergeletak di nakas. Sejak komunikasi terakhir kami yang membuat Gilang marah, Gilang hanya mengirimkan satu pesan, yaitu jadwal penerbangannya ke Jakarta. Tak ada lagi panggilan telepon atau pesan yang lain. Dia seperti hilang. Salahku juga mengapa melakukan hal bodoh. Ah, sekarang beginilah akibatnya.

Setelah percakapan membawa petaka itu, sebenarnya aku beberapa kali menghubungi Gilang, tapi tidak juga dijawab. Setelah lelah mencoba, aku pun berhenti dan masih saja tak ada respon darinya. Aku tak suka mengirim pesan, aku ingin menyampaikan maafku langsung agar dia tahu kalau aku menyadari kesalahan dan tulus meminta maaf. Bagiku, meminta maaf pada pasangan saat kita melakukan kesalahan tidak akan menjadikan kita rendah justru sikap itu adalah bukti komitmen kita pada pasangan. Hanya saja, kalau kejadiannya seperti ini, aku jadi bingung.

Selain bingung, aku juga ngeri membayangkan kepulangan Gilang beberapa jam lagi. Dia pasti marah. Gilang memang jarang marah. Saat marah besar, Gilang akan membangun banteng tinggi yang tidak akan bisa kutembus sampai kemarahannya mereda. Dia akan 'masuk goa' sampai batas waktu yang tidak bisa kuprediksi.

Aku tahu, kami sepakat untuk tidak menyimpan amarah lebih dari satu hari dan Gilang juga berusaha untuk memenuhi komitmennya itu, walau hal itu sangatlah berbeda dengan gayanya saat marah. Namun, kemarin aku melanggarnya, dan kini Gilang ganti melanggarnya. Sungguh, memikirkan Gilang membuatku jadi merasa serba salah dan tentu saja itu sangat tidak enak sekali. Fiuh.

Dering ponsel membuatku melonjak, nama Naya tertera di layar. Syukurlah, aku takut orang lain yang menghubungi dan pastinya di tengah suasana hati seperti ini jelas saja aku sedang tak ingin mengobrol. Namun Naya berbeda. Dia selalu bisa diandalkan. Pada dering keempat kujawab panggilannya.

"Vie, lo sibuk, ya? Ntar gue telepon lagi kalau ganggu." Naya berkata tanpa basa-basi. Padahal aku baru saja menjawab Halo, sudah main asumsi aku sibuk saja.

"Baru juga gue bilang halo. Nggak-nggak, gue nggak sibuk. Malah dari tadi memang pengen nelepon lo," cepat aku menjawab.

"Emang lo nggak sibuk? Ini kan jam aktif kerja lo," balik aku bertanya.

"Nggak, tadi gue telat makan siang, jadi jam segini baru makan. Eh, lo bilang tadi mau nelepon gue, ada apa?"

"Lo aja duluan, ada apa nelepon?" Sebaiknya aku mendengarkan ceritanya dulu. Jika memang memungkinkan baru aku cerita masalahku. Namun jika Naya memang sedang ada masalah, sebaiknya aku tak menambahi beban pikirannya.

Aku mendengar Naya tertawa pelan jadi langsung saja kutebak, "Lo mau cerita tentang pertemuan lo sama Ezra, kan? Kemarin gimana? Udah ketemuan? Lalu lanjutannya gimana?" Aku tak sabar mendengar jawaban Naya. Sejenak kegelisahanku teralihkan.

[TELAH TERBIT] Marriage BluesWhere stories live. Discover now