Perjalanan

62 7 3
                                    

Perjalanan

Bab ini ditulis Oleh : LaNa_Lusiana

Semua isi dan cerita disalin sama persis di akun ini.

Malam makin larut saat sebuah mobil SUV berwarna putih terguncang-guncang melintasi jalan berbatu, membelah kesunyian hutan jati. Bayangan pepohonan yang tinggi dan rimbun, terlihat seperti sedang menari, mengiringi kendaraan yang merambat pelan. Cahaya bulan yang belum bulat sempurna, hanya samar-samar menerangi rimba belantara. Satu-satunya pencahayaan yang dapat diandalkan adalah sorot lampu mobil. Dengan penerangan secukupnya itu, pemandangan yang terlihat hanyalah semak belukar lebat di sepanjang jalan, tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.

Di dalam mobil tersebut, seorang wanita muda duduk di kursi penumpang, menatap kosong ke arah luar jendela. Meskipun mustahil baginya untuk melihat sesuatu, tapi demikianlah caranya menyembunyikan wajah yang lelah. Tangan wanita itu sesekali mengurut lehernya dengan minyak aroma terapi untuk mengusir pening dan mual akibat goyangan mobil. Sementara di sampingnya, Bu Wati –sang ibu, duduk dengan gelisah. Matanya mengarah ke depan, dan kadang kala melirik putri di sampingnya. Sudah berulang kali Bu Wati mengecek ponsel. Kali ini ia mengangkat benda kotak itu tinggi-tinggi, lalu menggerakkannya ke kanan dan ke kiri, demi mendapatkan sinyal.

Pada kursi kemudi, duduk seorang lelaki berusia lima puluh tahunan, yang menatap tajam ke jalan di hadapannya. Dengan medan yang begitu gulita, dan daya pandang yang tak lagi prima, ia berupaya keras untuk berkonsentrasi mengendalikan setir. Meski lirih, bibirnya tak henti menyebut asma Allah. Ia sadar betul, jalan yang sedang mereka tempuh ini tersohor dengan keangkerannya. Mobil dan motor yang melintas di jalan raya, dikabarkan pernah tersesat di tengah hutan sekitar tempat mereka berada.

Dengan berhati-hati, sang wanita muda menanyakan sesuatu kepada ibunya, "Ma, kita nggak salah jalan kan?"

Bu Wati menjawab dengan sedikit sewot, "Dilaaa, Dila. Bukannya kamu juga ikut dengar? Penjual rokok di tepi jalan tadi bilang, ini jalan satu-satunya menuju Dusun Jati Arum."

"Barangkali alamat yang diberikan teman Mama itu salah," sanggah Dila pelan.

"Maksudmu, Mama salah dengar?" protes Bu Wati yang membuat Dila bungkam seribu bahasa.

"Coba tadi kamu nggak lelet, jam segini pasti kita sudah perjalanan balik ke Semarang," cecar Bu Wati.

Dila termangu, berusaha mengingat peristiwa pagi tadi yang menyebabkannya lama mengambil keputusan.

==

"Telepon dari siapa?" tanya Andika yang berdiri di depan cermin di sisi kiri ranjang.

Lelaki kuning langsat dengan rambut tersisir rapi itu sibuk mengancingkan baju kerja, sembari sesekali menatap Dila yang masih tergolek malas di atas ranjang lewat pantulan kaca di depannya.

Tak segera menyahut pertanyaannya, Dila terlebih dahulu berusaha menegakkan tubuh pada sandaran ranjang.

"Dari Mama, Mas." Jawab Dila sambil mengusap matanya yang masih terasa lengket.

Andika yang fokus mematut baju, hanya mengangkat alis sambil manggut-manggut.

"Jadi, ... Mama mengajakku pijat, Mas," terang Dila.

Kalimat itu berhasil menarik perhatian Andika. Suami Dila itu akhirnya berbalik badan dan menatap istrinya.

"Pijat rahim?" tanya Andika penasaran.

Dila mengangguk pelan. Di hati kecilnya, Dila sudah bisa membayangkan bagaimana respon Andika setiap disinggung upaya nonmedis untuk program kehamilannya.

Jerat ArwahWhere stories live. Discover now