Arwah (2)

39 2 0
                                    

Cerita ini ditulis olehLaNa_Lusiana

Semua ini cerita disalin sama persis ke akunHetty_Sugia

Suasana hening setelah tawa panjang Mbah Karti. Lambat laun asap dengan bau busuk itu pun sudah hilang dan tak tercium lagi. Dila yang masih dalam kondisi lemas, lamat-lamat melihat wanita sepuh itu berjalan tertatih-tatih mendekat ke arahnya.

"Buka!" perintah Mbah Karti, sambil menuding ke perut Dila.

Sadar akan maksud Mbah Karti, Pak Daliyo segera beringsut, keluar dari ruangan tersebut.

Perlahan Bu Wati menyingkap kaos yang dikenakan putrinya hingga sebatas dada. Mbah Karti yang bersimpuh, menempelkan tangannya di perut bagian bawah Dila. Saat merasakan telapak tangan Mbah Karti menyentuh perutnya Dila kembali mengaduh.

"Udah, Mbah. Sakiiiit," erangnya.

Tapi Mbah Karti tak peduli. Ia kembali berkomat kamit hingga Dila meronta-ronta.

"Lunga, kowe!!" hardik Mbah Karti ke arah perut Dila.

Sejurus kemudian Mbah Karti mengulum jari telunjuknya, sembari merapal mantra. Tak lama, jari itu ia usapkan ke perut Dila.

"Aaaaaa ... " jeritan Dila memenuhi ruangan.

Tubuhnya menggeliat hebat. Ia berguling ke kanan dan ke kiri, membuat Bu Wati yang memegangi kewalahan. Mbah Karti dengan sigap meraih bejana yang berisi dupa, lalu mengembuskan asapnya di atas perut Dila.

Perlahan Dila berangsur-angsur tenang. Namun ia masih seperti orang bingung. Matanya menatap ibunya dan Mbah Karti bergantian. Ternyata kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

Bu Wati menatap resah, "Mbah, apa yang baru saja terjadi pada anak saya?"

"Belum saatnya." Ucap Mbah Karti singkat, membuat Bu Wati makin kebingungan.

"Tangi, Nduk."

Mendengar suruhan Mbah Karti, Bu Wati segera membangunkan Dila dari posisi telentangnya. Wanita sepuh itu kini duduk bersimpuh, menghadap sesajen dan dupa yang masih menyala. Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada. Mulutnya kembali berkomat-kamit, dengan mata terpejam. Cukup lama ia bertahan dalam keadaannya itu.

Saat matanya terbuka, Mbah Karti tiba-tiba bangkit dari duduknya. Lalu dengan susah payah, meraih tongkat dan berjalan terhuyung-huyung ke pintu rumah. Tangan Mbah Karti meraih gagang pintu, kemudian membukanya lebar-lebar. Bu Wati dan Dila menatap Mbah Karti keheranan.

Di depan pintu gubuknya, Mbah Karti berdiri menatap ke luar, nyaris tak berkedip. Pak Daliyo yang menunggu di depan, merasa ngeri melihat perilaku Mbah Karti itu. Tubuh bungkuknya ia tegakkan sedemikian rupa, tanpa meringis menahan nyeri. Wajah tenangnya, memancarkan kemarahan yang hebat. Tongkat kayu yang tampak lapuk dalam genggamannya dihunjamkan berulang kali ke tanah. Saat ia melakukan itu, tiba-tiba angin kembali datang, menderu di sekitar gubuk.

"Lungoooo!!!"

Semua tersentak mendengar teriakan lantang Mbah Karti. Bulu roma mereka meremang seketika, karena bunyi yang keluar bukanlah suara Mbah Karti. Teriakan penuh amarah dan ancaman itu mirip suara lelaki. Besar, dan serak.

Suasana kembali hening setelah Mbah Karti tenang. Tangannya merogoh sesuatu di dalam setagen, lalu menaburkannya ke tanah. Dari arah tempatnya berdiri, Pak Daliyo menduga jika butiran putih itu adalah garam.

Mbah Karti kembali masuk ke dalam gubuk dengan terbungkuk-bungkuk. Dila, Bu Wati, dan Pak Daliyo keheranan melihat keanehan tadi. Di usianya yang diperkirakan lebih dari sembilan puluh tahun, wanita tua itu sanggup meluruskan punggungnya yang melengkung, semudah menjentikkan jari. Apalagi suara mengerikan yang misterius tadi. Manusia biasa tak akan sanggup melakukannya.

Jerat ArwahWhere stories live. Discover now