Tabir (2)

23 4 1
                                    

Bab ini ditulis oleh : LaNa_Lusiana

Semua isi sama persis dengan akun : Hetty_Sugia

Dila berkaca-kaca. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Mbah Karti dan Pak Daliyo. Hati Dila berkecamuk laksana peperangan sedang terjadi di dalamnya. Benaknya sibuk menerka, perasaan cinta semacam apa yang dimiliki mantan kekasih suaminya itu, hingga membawa dendam kepada dirinya sampai ke alam kubur.

Mbah Karti mengamati perubahan raut wajah Dila sejak mendengar kejujuran nan pahit itu. Dukun yang malang melintang mengobati penyakit dan kesengsaraan orang itu, sudah terbiasa melihat berbagai seri muka orang. Mulai dari sedih, kecewa, putus asa, bahkan bahagia. Wanita muda yang masih begitu hijau melihat dunia itu, bagi Mbah Karti masih perlu banyak mengenyam kesusahan, agar tidak mudah goyah dan diombang-ambing oleh kenyataan.

"Dadi wong, ojo gampang kagetan." Suara Mbah Karti memecah kesunyian.

"Maaf. Maksud, Mbah?" ujar Dila tak paham.

"Manusia itu, jangan mudah terkejut, jangan mudah heran." Jawabnya tegas.

Dila menduga-duga, apa makna di balik kata-kata Mbah Karti itu.

Sepengetahuannya, orang jawa memang terbiasa menggunakan peribahasa sebagai simbol atas suatu keadaan atau peristiwa. Sebagai keturunan separuh jawa, ia memang buta dengan leluhurnya. Apalagi lahir dan besar di Jakarta, membuat Dila makin jauh dari akar budaya dari pihak ibunya.

"Kehidupan manusia itu isinya serba tidak tentu. Oleh karenanya, kita harus senantiasa waspada."

Mbah Karti menutup kalimat sambil menyisipkan sebatang rokok di bibirnya. Rupanya yang diisap Mbah Karti itu bukanlah rokok biasa. Aroma yang tercium kuat dari asap yang diembuskannya adalah kemenyan. Baunya yang khas itu seperti menusuk hidung Dila. Apalagi saat Mbah Karti berulang kali ditiupkan ke arahnya.

Dila hanya pasrah ketika tubuh dan rambutnya yang wangi, berganti dengan aroma kemenyan. Ia belajar sesuatu dari pertemuan terdahulunya dengan Mbah Karti, yaitu patuh dan tidak banyak bicara. Meskipun begitu, ia tak tahan untuk bertanya hal penting yang mengusik rasa ingin tahunya sejak tadi.

"Suami saya tidak pernah mau bercerita tentang mantan pacarnya, Mbah. Dia bilang itu sudah masa lalu. Sedangkan saya, adalah masa depannya." Ujar Dila seperti mengigau, matanya kosong.

Mbah Karti menyungging sebuah senyum tipis saat Dila menceritakan perihal suaminya.

"Apakah suami saya pernah berjanji untuk menikahinya ... atau bagaimana?" ucap Dila dengan raut putus asa.

Mbah Karti meletakkan rokoknya, lalu meraih baskom berisi air dan bunga tujuh rupa. Disibaknya bebungaan dari permukaan air, hingga menyisih ke pinggir baskom. Mata sepuhnya menyipit, memandang tajam ke dalam baskom. Dila dan Pak Daliyo menyaksikan polah Mbah Karti dengan rasa heran.

"Wong wadon iki, bekas pacare bojomu sing pungkasan." Ujar Mbah Karti sambil terus memandang tajam ke arah baskom.

"Maksudnya, Mbah?" tanya Dila resah.

Alih-alih menjawab, Mbah Karti hanya diam saja. Matanya terus terpaku menatap air, layaknya sedang menonton televisi.

Pak Daliyo yang melihat Dila kebingungan, berusaha bicara dengan suara sepelan mungkin, "Nuwun sewu, Mbak Dila. Maksud Mbah Karti, wanita itu pacarnya Mas Andika yang terakhir."

Mata Dila terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, "Pacar terakhir? Emang berapa mantan pacar suamiku?"

Pak Daliyo menunduk. Ia merasa telah melakukan kesalahan dengan mengartikan ucapan Mbah Karti. Jauh di dalam hati pria itu terselip rasa heran, mengapa Dila seperti tidak tahu menahu akan masa lalu suaminya. Berbeda sekali dengan ibunya, Bu Wati. Pak Daliyo masih ingat betul kejadian di mana Bu Wati sering tiba-tiba datang ke kantor Pak Idang. Jika bosnya itu tidak berada di ruang kerja, maka Pak Daliyo yang pertama dicari. Dan jika Pak Daliyo menjawab tidak tahu, maka staf-staf Pak Idang yang akan dihujani pertanyaan oleh Bu Wati

Jerat ArwahWhere stories live. Discover now