Perjumpaan

32 4 0
                                    

Bab ini ditulis olehLaNa_Lusiana

seluruh cerita disalin sama persis di akun ini


Setelah beberapa lama, Dila akhirnya siuman. Wanita ayu berambut sebahu itu terbangun dengan rasa lemas di sekujur tubuh. Saat pertama kali membuka mata, Dila merasa bingung. Ia berulang kali menyapukan pandangan ke sekeliling.

Kamar bersekat tirai berwarna coklat terang dan tembok putih yang sedikit kusam, membentang di hadapannya. Tubuh lemahnya terbaring di atas ranjang kecil dengan balutan selimut. Aroma karbol yang menyengat indera penciumannya, membuat Dila segera menyadari jika ia sedang berada di rumah sakit.

Krieet, ... terdengar suara pintu dibuka. Namun Dila belum bisa melihat siapa gerangan yang masuk ke ruangan itu, karena pandangannya yang terhalang tirai. Kebetulan ranjangnya berada di samping tembok yang ada jendelanya, sedangkan bagian lain dari kamar itu berada di sisi kirinya dengan pembatas tirai. Jika dugaannya benar, pintu berada di dekat ranjang pasien sebelahnya.

Sesaat kemudian terdengar langkah kaki tergesa yang mendekat ke arah ranjang Dila. Rupanya, sang ibu yang datang. Bu Wati yang begitu khawatir, segera menghampiri Dila lalu menciumi kening dan pipi putri tunggalnya itu.

"Syukurlah, kamu sudah sadar, Dil. Maaf, tadi Mama tinggal mengangkat telepon di luar sebentar." Ucap Bu Wati sambil mengusap kepala Dila.

"Ma, kok Dila bisa di sini? Tadi kan Dila lagi di kamar, trus ...."

Kalimat Dila terputus. Tiba-tiba kilasan peristiwa yang ia alami sebelumnya mulai terbayang jelas satu per satu.

Dengan panik Dila meraba lehernya, "Leherku, Ma ... leherku!"

"Kenapa dengan lehermu?" tanya Bu Wati kebingungan. Diperiksanya leher Dila dari depan, hingga belakang dengan saksama.

"Tidak ada apa-apa, Dil. Nih liat."

Bu Wati mengeluarkan bedak padatnya dari dalam tas, lalu memperlihatkan keadaan leher Dila dengan bantuan cermin di dalamnya.

"Tuh kan, nggak kenapa-kenapa."

Dila menghela nafas lega. Diusapnya leher jenjangnya berkali-kali. Taring panjang makhluk mengerikan yang ia lihat di rumah tadi, seolah benar-benar menancap dan merobek kulitnya. Seketika bulu kuduknya meremang, teringat pada peristiwa menyeramkan yang ia alami. Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti berkelebat di benak Dila. Nalarnya belum bisa menjelaskan bagaimana mungkin rasa sakit di leher dan tubuhnya masih bertahan hingga sekarang.

"Mama panik tadi lihat kamu pingsan. Seumur-umur kan baru kali ini," ujar Bu Wati yang dibalas Dila dengan anggukan.

"Bukannya Mama ke rumah Paklik? Kok tahu-tahu udah di rumah Dila?"

"Iya. Sepulang dari rumah Paklik, Mama telepon kamu berulang kali, tapi nggak diangkat. HP Andika juga nggak aktif. Langsung deh Mama ke rumah kamu. Untung aja serep kunci rumah masih ada." Terang Bu Wati.

Rumah yang ditinggali oleh Dila saat ini sebenarnya adalah milik keluarga Bu Wati. Setelah Andika menikahi Dila, rumah itu direnovasi dan dihadiahkan oleh Pak Idang dan Bu Wati untuk putri dan menantu mereka. Lokasi rumah dua lantai yang berada di pusat kota itu berbanding terbalik dengan kediaman Bu Wati dan suaminya. Setelah Pak Idang pensiun, ia membangun rumah sederhana dengan halaman luas di wilayah Semarang atas. Pak Idang semasa hidupnya memang berencana membudidayakan tanaman buah dan sayur di pekarangan rumahnya. Sehingga suasana lingkungan yang lebih tenang, jauh dari kebisingan, dipilih oleh kedua orang tua Dila sebagai tempat tinggal baru mereka. Meskipun sudah tidak lagi menempati, rupanya Bu Wati masih menyimpan kunci cadangan rumah keluarganya tersebut.

Jerat ArwahWhere stories live. Discover now