5. | Hilang

8.6K 664 29
                                    

"Mamamamaaaaaahh!" teriak Alfa menggema di ruangan.

Sakit yang dirasa Maida masih terpatri. Namun, melihat kesungguhan sang suami, ia menjadi yakin bahwa di antara mereka hanya ada benci. Kemenangan seakan ia raih ketika melihat wajah madunya bersedih dan berhias air mata. Maida merasa di atas angin dan bahagia tiada tara.

"Diam!" bentaknya pada Alfa lantas tertawa.

Maida membiarkan Alfa di atas kasur. Ia sibuk menatap cermin dan tertawa kesetanan lagi. Misinya belum mencapai puncak, tetapi tanda berhasil sudah ia kantongi.

"Tunggu saja Riana Khaira Zulfa, Maida Amanda akan memberikan pembalasan yang setimpal!"

Bersama dengan itu, tawa Maida kembali menggema. Ia tertawa dan menatap anaknya. Diciumnya Alfa dengan tawa yang masih membahana. Dalam tawa itu, ada tangis anak yang lupa akan kasih sayang seorang ibu.

Hening. Riana merasa kehilangan. Gairah hidupnya seakan meredup kala melihat Alfa dibawa paksa oleh Maida dan Arga. Tidak ada ampun atau belas kasih meski tangis bayi itu semakin menjadi. Selain itu, tidak ada pamit atau apa pun yang diucap Maida dan Arga. Keduanya kompak membisu dan pergi dengan mobil berkecepatan tinggi.

Semalam, saat Riana diterpa rasa haus, kakinya terpaku pada lantai depan kamar Arga. Suara-suara berisik di dalam sana seakan memanggil agar lukanya semakin menganga. Riana paham dan mengerti mereka suami istri, saling mencintai. Lantas, apa perlu suara itu diperdengarkan nyaring? Apa perlu suara itu mengisi rumah yang katanya ditempati Riana? Apa ini termasuk cerminan dari poligami yang adil? Ah, Riana enggan memikirkan kejadian semalam.

"Sadar diri, Ri," lirih wanita itu berusaha tersenyum.

Apa pun yang diperjuangkan, tetapi tidak ditakdirkan akan selalu menjadi impian. Riana memegang prinsip tersebut. Jadi, sepertinya mulai hari ini dia akan sedikit demi sedikit mengikis rasa cinta untuk Arga. Toh, ini untuk kebaikannya juga.

Di sisi lain, Arga menatap meja kerjanya dengan tatapan kosong. Beberapa kertas menumpuk dan menunggu tanda tangannya. Namun, ia masih enggan untuk sekadar mencekal pulpen.

Dada Arga berdesir kala mengingat kejadian semalam. Pikirannya kacau untuk fokus pada satu orang. Nyata, kalau Riana juga mengambil alih sebagian tempat dalam otaknya.

"Sialan!" geram Arga kala bayang senyum Riana untuk Arlan terpampang.

Lama terpekur, akhirnya Arga memutuskan untuk menyudahi kericuhan pikirannya. Dengan gesit tangannya memencet keyboard dan mengetikkan pesan cepat.

Seminggu ini, aku akan menetap di apartemen.

Tinggal mengirim, tetapi jari Arga terasa berat. Apakah ia perlu mengirimkan pesan tersebut pada Riana? Akan tetapi, dia juga tidak pernah membilang sesuatu untuk istri keduanya itu. Arga selalu melakukan hal bebas tanpa memedulikan izin atau apa pun bersangkutan dengan Riana.

"Tidak perlu!" gumam Arga sembari menghapus semua pesan.

Lagi, Arga membekukan hatinya meski ada keinginan mengirim pesan. Ia hanya yakin bahwa ini adalah sifat baiknya yang muncul. Bukan ada rasa bahkan cinta untuk Riana. Ya, Arga meyakini hal itu.

Ketika malam memekat, Riana terduduk di ruang makan. Ia masih berusaha melebarkan mata dan mengusir kantuk. Hati, pikiran, dan niatnya tidak lagi sejalan. Niat dan pikirannya telah condong pada melepaskan, sedang hatinya kukuh mempertahankan. Walhasil, berakhir di meja makan dengan sederet menu kesukaan Arga. Riana memasak ini karena hatinya kembali dilema.

Pukul dua belas malam, Riana masih berusaha menunggu. Lelah menimpa badan. Dingin menyapu raga. Berakhir, matanya tertutup dengan perut tanpa isi. Dia hanya ingin menunggu, sebenarnya. Namun, yang ditunggu sedang berusaha mengabaikan meski sempat terbesit rasa untuk pulang. Tuhan memberikan isyarat lewat mereka bahwa memang ada ikatan rasa tak berupa.

---HISNANAD---

Seminggu, Riana mematut diri di hadapan cermin. Terdapat lingkar hitam di kantung matanya. Bibirnya memucat. Entah pantas disebut apa penampilannya hari ini. Wajahnya benar-benar kehilangan gairah hidup. Jika disebut panda, itu terlalu menggemaskan karena keadaannya ini mengenaskan.

Hari ini, Riana memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Beberapa hari belakangan pusing semakin gencar melanda kepala. Menurut sahabat karibnya, Dian, ia perlu jalan-jalan.

Suara bel memecah lamunan. Riana buru-buru turun ke bawah dan menyambut sang teman. Saat pintu terbuka, terlihat raut terkejut dari wajah Dian.

"Wow! It's really good. Psikologi mengatakan bahwa orang yang tidak ceria biasanya sedang dilanda prahara. Lu ada masalah ama laki lu?" cerocos ibu satu anak itu dengan wajah tanya.

Tawa Riana mengalun. Meski beban tetap dia tanggung, kehadiran Dian setidaknya mengobati sedikit luka. Ia menggeleng perlahan dan menatap Dian.

"Santai, Di. Aku baik, kok."

"Cih. Kalem amat lu sekarang. Ya udeh, ayo berangkat!"

Mereka pun berangkat dengan motor matic. Tempat yang mereka kunjungi tidak bisa dikatakan jauh ataupun dekat. Perjalanan bisa ditempuh dalam waktu setengah jam.

Senyum Riana mengembang kala melihat hamparan teh yang menghijau. Ia memejam dan menghirup udara segar.

"Pamerannya di mana? Kok, aku malah tertarik ke kebun tehnya ya, Di."

"Hadeh, elu mah emang gitu. Udah deh, percaya ama gue pamerannya tuh bagus-bagus. Lukisannya menarik semua. Cus ke sana."

Dian menarik tangan Riana ke kerumunan orang. Di samping kebun teh telah didirikan tenda sederhana dengan hiasan sederhana pula. Dua lukisan yang terpajang sebagai pembuka memanjakan mata mereka.

"Inget zaman dulu gue," ujar Dian mengingat masa dulu.

Dua sahabat itu memang saling dekat sedari bangku SMP. Tidak ada cerita pribadi atau apa pun. Mereka dekat hanya untuk menekuni hobi yang sama; melukis, membaca, fotografi, dan menulis.

Hari ini, Dian mengajak Riana menghabiskan waktu untuk napak tilas. Mengingat seminggu belakangan batinnya sedikit tersiksa, Riana menyetujui ajakan sahabatnya. Ia pun merasa lepas ketika sampai di sini.

"Ri!" panggil suara membuat Riana tergagap.

Menoleh, Riana terkejut mendapati lelaki berpakaian santai dengan senyum menawan. Arlan tidak salah kira untuk mengenali punggung sepupunya sekaligus kakak iparnya.

"Arlan?"

"Hah? Apa? Dia yang melukis ini deh keknya, Ri!" bisik Dian terkejut.

Hening. Arlan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Lelaki itu melihat pameran karyanya yang dipajang di beberapa tempat.

"Kamu masih suka ngelukis ya. Masih bagus. Aku sampai enggak kenal aliran lukisanmu lagi." Riana berujar sembari menatap lukisan di samping.

"Hmmm. Ya begitulah. Alfa kenapa nggak sama kamu?"

Hening. Riana berpikir keras untuk menjawab tanya Arlan. Alasan macam apa untuk menutupi semua? Alfa dibawa ibunya? Alfa diajak jalan-jalan Arga? Memikirkan hal tersebut memancing pening di kepala Riana menjadi.

Tiba-tiba, punggung tangannya basah dengan cairan merah. Tangan Riana buru-buru mengusap hidung. Benar. Dia mimisan. Rasa sadarnya menipis dengan gelap menjadi akhir. Ia menutup mata dan mengabaikan segala panggilan yang terdengar di telinga.

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن