10.| Bundak

7.5K 636 26
                                    

Kalut memenuhi kepala Arga. Semalaman suntuk ia tidak bisa memejam meski kantuk ada. Selama matanya terbuka, selama itu pula satu nama terbayang-bayang di kepala. Riana Khaira Zulfa.

Percakapan panjang tentang cinta-mencintai itu tampaknya menyurukkan tanya besar di hati Arga. Sekiranya, siapa yang istrinya cintai? Ingin ia bertanya demikian, tetapi mulutnya tersumbat. Bukankah ia tidak pernah memedulikan Riana? Kenapa tiba-tiba ia bertanya?

Saat sinar matahari mulai timbul, Arga beranjak dari duduknya. Ia meninggalkan rooftop rumah sakit dan berjalan ke ruang rawat Alfa. Pagi ini balita tersebut sudah diperbolehkan pulang.

"Dari mana, Yang?"

"Atas." Arga menjawab tanya Maida dengan senyuman.

Rasanya sudah berbeda atau memang rasa terbiasa belum hadir juga? Arga tidak bisa memahami cerai berainya perasaan ini. Di dekat Maida, meski ia bersikap romantis semua seakan semu. Sungguh berbeda dengan hari-hari yang berlalu.

Dering telepon memecang hening. Arga mengangkat telepon itu tanpa banyak pertimbangan.

"Mama ingin bertemu kalian nanti siang."

Telepon ditutup begitu saja. Maida bisa membaca gerak Arga yang berbeda.

"Aku akan membawa Alfa ke rumah. Kamu tetap di apartemen, ya? Mama mau ke rumah untuk bertemu denganku dan Riana."

Senyum palsu Maida ukir. Wanita itu mengangguk seakan memahami. Padahal, kenyataannya ia tengah menahan emosi.

"Ya."

"Janji, setelah mama pulang, aku akan bawa Alfa ke kamu."

"Tidak hanya Alfa, tapi kamu juga!" Maida tersenyum tipis lantas melayangkan kecupan di pipi Arga.

Pada waktu sama di tempat berbeda, Riana tengah menikmati senyap. Tak terhitung berapa kali Arga menyelinap dalam mimpinya. Seperti pagi tadi, ia terbangun di sepertiga malam karena mimpi Arga mengelus puncak kepalanya.

Berkali-kali Riana mengembuskan napas agar sesaknya mereda. Sayang, tidak ada yang berubah kecuali matanya kembali memanas.

Suara klakson mobil sepenuhnya menarik segala kesadaran Riana. Ia pergi dari balkon dan tergesa membuka gerbang. Selepas pintu mobil terbuka, Arga menyodorkan Alfa padanya.

"Mama akan ke sini nanti. Bisakah—"

"Kita akan berpura-pura menjadi keluarga bahagia," potong Riana cepat.

Anggukan Arga terasa kaku. Riana pergi bersama ekspresi beku. Keduanya diam dalam hening yang membunuh waktu.

---HISNANAD---

"Bagaimana keadaanmu, Ri?"

Riana tersenyum sekilas. "Selalu baik, Ma."

"Kenapa Arga tidak menyewa pembantu dan baby sitter?"

"Riana yang melarangnya, Ma. Pekerjaan rumah tidak melelahkan untuk dilakukan. Jadi, selama Riana bisa melaksanakan, semua akan Riana kerjakan."

Arga terjebak di antara dua orang wanita di hadapan. Ia tidak bisa berkata apa-apa selain mencuri pandang ke arah istrinya. Entahlah, ia mulai tertarik dengan kepura-puraan Riana yang sangat luwes untuk dikatakan sebagai peran.

Makan siang dengan hidangan yang Riana masak pun dimulai. Arga merasai makanan enak tersebut mengetuk hatinya. Mungkin sudah beratus kali ia menolak makanan Riana pada waktu-waktu yang berlalu. Apa wanita itu merasa sakit? Nyatanya, tetap saja ada masakan yang terhidang di meja saat Arga pulang malam.

"Masakanmu enak, Ri. Benar kata Arlan, kamu memang pandai memasak."

Senyum manis Riana tampakan. Di sampingnya, Arga menghentikan pergerakan. Arlan? Ia merasa terusik karena nama itu tiba-tiba datang.

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang