Bab 7

811 115 15
                                    

***

Pengalaman mengajarkan kita untuk selalu waspada dan hati-hati. Jangan sampai kita terpeleset di tempat yang sama hingga jatuh di lubang yang sama, atas dasar itu ... Dita mulai menerapkan semuanya hari ini.

Ia sudah menghabiskan malam seperti dirampok oleh dirinya sendiri karena harus membayar tagihan makanan yang sebenarnya tidak bisa ia habiskan saking banyaknya, dan pagi ini Dita mencoba memupuk kesabarannya lagi, namun kali ini ia sudah bertekad dalam hatinya; Raga menyenangkan sebagai partner kerja, bukan partner bersenang-senang atau hal lainnya, maka... mari bekerja saja yang benar!

"Dit, lo udah sarapan belum? Gue mau beli sarapan, mana tahu mau nitip," kata Raga.

Dita yang sedang sibuk dengan laptopnya menggeleng, "Gak dulu. Gue udah buat nasi goreng tadi," katanya.

"Loh, nasinya dari mana? Bokir bilang nggak ada nasi," ucap Raga.

"Gue beli tadi, agak ke ujung ada yang jualan nasi rames atau nasi apalah nggak tahu gue."

"Bukannya tinggal dimakan ya? Napa malah lo bikinin nasi goreng?" tanyanya.

Dita mengerucutkan bibirnya, "Nasinya keras, udah gitu warnanya agak gelap. Jadi gue goreng aja, gue kasih air biar nggak terlalu keras dan gue kasih kecap biar beneran gelap."

Raga tergelak, "Anjir. Ada-ada aja idup lo!" katanya.

Dita mendengus, "Hidup lo kali yang ada-ada aja. Gue masih kesel. Lo nggak lihat hah?!"

Menggaruk kepalanya yang tak gatal, Raga menatap Dita dengan ekspresi bersalah, "Gue beneran nggak sengaja malem," katanya.

Dita menghela napas, "Sengaja lo aja sekejam Semarang-Jakarta-Labuan Bajo sih, terus nggak sengajanya itu nggak bawa dompet ya? Oke. Cukup tahu."

"Aduh Dit, jangan gini dong," pinta Raga.

Dita mengalihkan tatapannya dari laptopnya dan menatap Raga, "Ga. Mulai sekarang, lupakan semua agenda bersenang-senang. Atau ya oke silakan bersenang-senang tapi kita masing-masing aja. Lo silakan pergi sendiri, begitu juga gue. Kita kerja aja yang bener ya Ga. Kita juga ke sini kan buat kerja," ujar Dita.

Raga menelan ludahnya. Yah, oke sih. Dia tidak masalah juga dengan apapun, tapi sumpah ... Dita ini kenapa jago sekali membuat orang merasa bersalah?

"Oke deh, terserah lo aja Dit. Gue laper, mau cari sarapan dulu."

Dita menganggukkan kepalanya, "Abis lo sarapan, kita meeting."

"Oke."

****

"Mbak! Indomie goreng dua bungkus ya. Pake sayur!"

Dita sudah membuat mie instan sebanyak tiga kali dan sekarang ia mendapat pesanan lagi sehingga Dita membuatkannya lagi. Hadeuh. Kenapa rasanya seperti punya warkop ya, alih-alih punya café. Semua ini memang karena inisiatif Ares dan Bokir yang tidak mau café ini sepi. Ya tidak mau sepi sih oke saja, tapi dengan tempat sebagus ini dan menjual mie instan ... ya ampun. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya yang ada.

"Selamat menikmati! Oh iya Kak, info aja untuk café ini mulai besok akan kita tutup karena mau renovasi dalam satu minggu ke depan," katanya.

"Renovasi apa? Aduh, Cuma café ini yang jual mie instan tapi tempatnya oke," sahut pelanggan.

"Makanya Kak. Saya mau renov dan rombak café nya biar bukan hanya mie instan aja yang dijual di tempat se-oke ini," jelas Dita.

Ia menyunggingkan senyumnya sebelum berpamitan pada pelanggan yang barusan berbicara dengannya. Dita duduk di meja kasir, mengamati setiap penjuru café dan beberapa orang yang masih berada di sana, atau beberapa yang hanya ikut berteduh saja karena café ini bukan hanya dikunjungi pelanggan, tapi orang-orang yang sekedar mampir untuk duduk-duduk santai lalu kembali ke pantai. Wow! Benar-benar bebas sekali.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Something About UsWhere stories live. Discover now