iv | diragukan, sendirian

163 32 14
                                    

"Abang? Mau ke mana? Sini sarapan dulu

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

"Abang? Mau ke mana? Sini sarapan dulu."

El menuruni tangga. Tiap jarak yang ditepis, menambah rasa gelisah yang berusaha ditutupi oleh Abra. Sisa pertikaian semalam masih segar di ingatan. El menghampiri meja makan, duduk di seberang adiknya. Mama sibuk mengisi piring kosong dengan nasi dan lauk untuk anak sulungnya.

El menatap makanan yang tersaji di depannya dengan embusan napas yang samar. Nasi putih, jamur krispi, sayur bayam, telur. Tipikal makanan yang dilabeli sebagai 'favorit Abra', kata mama. Tinggal jauh dari rumah karena jarak dengan kampusnya lumayan memakan waktu, El tidak banyak protes dengan makanan yang ada di rumah. Ia memang hanya sesekali menginap, paling lama beberapa hari kalau bukan libur panjang, jadi tidak ada makanan kesukaan yang bisa ia banggakan.

El suka masakan mama. Melebihi apapun. Tapi, hati kecilnya juga bertanya-tanya apakah mereka mengingat apa-apa tentangnya? Sesepele makanan favorit?

"Abang mau balik ke kos? Kapan balik ke rumah lagi?"

"Minggu depan mungkin. Di kampus lagi mau ada event."

Mama mengangguk-angguk. "Lagi sibuk ya berarti, Bang? Mama sama Papa pengen Abang ajak Abra keliling kampus, bentar lagi 'kan mau kuliah. Siapa tau Abra mau lanjut juga di kampus Abang. Gimana, Bra? Good idea, 'kan?"

Menghindari arah El, Abra langsung memandang mama yang duduk di sebelahnya. Berdeham, Abra menjawab, "Ya ... boleh, tapi nggak usah kalo abang lagi sibuk."

"Abra 'kan udah gede, Ma. Keliling kampus aja juga bisa sendirian," sahut El ringan. Tipis sekali, Abra sempat menghentikan gerak menyuapnya.

"Ya iya. Tapi kan udah ada Abang ini, biar enak sambil ngobrol. Abang juga bisa cerita pengalaman, bantuin Abra nentuin pilihannya."

"Dia belum ada pilihan emang?"

Abra tersenyum pahit dalam hati. Dia. Seolah dirinya tembus pandang.

"Belum ada cerita sama Mama, tuh. Coba, Bra, udah ada ide belum mau ambil jurusan apa sama di mana?"

Agak terkejut ditanya perkara tersebut, Abra sempet terdiam. "Hm ... sejauh ini tertarik Teknik Mesin atau Arsitektur."

"Yakin teknik?"

Kali ini Abra tidak bisa menahan untuk tidak menatap kakaknya, yang hanya menyuap dan menatap piring di depannya dengan datar.

"Maksud Abang?" Abra setengah mati menyembunyikan amarahnya.

El membalas dengan mengangkat bahu. Ditenggaknya segelas air putih hingga tandas, menutup sarapan hari ini. Dan untuk kali pertama pagi ini, kedua sorot mata kakak beradik itu bersirobok meski sesaat. "Ya dipikir aja," kata El, "di SMA aja lo bolak-balik rumah sakit. Terus lo mau masuk teknik?" El kembali menjungkitkan kedua bahunya. Lalu bangkit.

"Eh, Abang udahan?" Mama ikut beranjak. Bergegas ke dapur. "Bentar, Bang, Mama udah siapin bekal."

"Nggak usah, Ma." El berlalu keluar. Suara motor meraung terdengar, lalu sayup menghilang.

let me walk with youWo Geschichten leben. Entdecke jetzt