viii | kupu-kupu

116 17 13
                                    

"Kalau gue nggak punya nama siapa-siapa, gimana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau gue nggak punya nama siapa-siapa, gimana?"

"It's okay. Tapi, the next time you have a name for it, mind telling me?"

El meyakini 'next time' yang dimaksud Reyna tidak akan datang. El hanya menganggap jawaban itu sebagai formalitas dan angin lalu. Bahwa Reyna sebenarnya tidak benar-benar ingin tahu. Bahwa El juga tidak benar-benar harus mencari nama untuk seekor kupu-kupu yang digambar dengan tak seberapa mahir itu. Bahwa tidak ada yang benar-benar El sayangi ataupun menyayanginya. Itu yang otaknya suarakan keras-keras hingga El pekak.

Dan di antara itu semua ... ada satu nama yang tebersit. Tiba-tiba saja, El teringat nenek. Nenek yang hanya banyak hadir ketika El masih kecil karena rumahnyalah tempat El biasa diungsikan sejak ia berumur empat tahun. Yang meskipun waktu singgung mereka dirampas masa pendewasaan El, masih El ingat bagaimana hangat dan wanginya sosok itu.

"Cucu Eyang sibuk bener. Lagi ngapain, Sayang?"

Papa yang biasanya mengantar dan menjemput. Saat itu El paham papa harus bekerja. Di lain sisi, mama menemani Abra di rumah sakit. Entah apa alasan orangtuanya tidak menyewa asisten rumah tangga atau pengasuh, tapi El sendiri tidak masalah berdiam di rumah nenek. El suka nenek dan juga rumahnya. Rumah yang sederhana dan berplafon lebih pendek dari rumah-rumah terkini, namun tiap sudutnya mampu membuat El tergugah untuk mengeksplor. Terkadang nenek membiarkan El membantu memupuk dan menyiram tanaman di pekarangan, memetik beberapa bunga yang digunakan untuk mewarnai, atau menyesap nektar dari bunga asoka. Nenek juga yang mengenalkan El ke cerita-cerita sejarah yang dikemas dengan seru. Nenek dan rumahnya selalu mewangi menyenangkan.

"Eh, lagi gambar, toh. Gambar apa, El?"

Nenek selalu murah tawa dan senyum, tapi suatu waktu, El menangkap raut bingung dan sorot yang menatap seolah-olah El telah melakukan hal yang mengerikan.

"El, ini ... gambar apa?"

"Mama."

Jawaban itu membuat nenek mengambil buku gambarnya, lalu menangkup kedua pipinya.

Bibir nenek tersenyum, tapi sinar matanya menyorot lain. "Kalo mau gambar, yang bagus-bagus aja, ya, Bang El. Kereta api, kapal, pesawat! Ingat Nenek pernah cerita dulu Kakek pernah jadi pilot pesawat tempur? Nanti Nenek belikan buku baru, ya?"

Nenek kembali mengumbar hangat ceritanya, meski sesekali diselingi tatapan melamun. Dan sesekali juga usapnya membelai ubun-ubun El sambil merapal "Cucu Nenek," berkali-kali, seakan-akan di situ nenek entah ikut meyakinkan diri, memanjatkan doa, atau mengasihani. Nenek menangis dan El berhenti menggambar, sepenuhnya.

Yang El mampu cerna saat itu, menangis adalah tanda rasa sakit dan kesedihan. Dan El tidak mau melihat orang-orang yang ia sayangi menangis. Tidak mama. Tidak nenek. Meski harga yang ia harus bayar adalah berhenti menggambar dan mengubur memori itu dalam-dalam. Memori yang mungkin seharusnya tidak ia lihat. Memori yang tanpa ia sadar menyetirnya dari alam bawah sadarnya hingga sekarang.

let me walk with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang