xi | perbincangan, tenang

155 10 2
                                    

Kelas sepuluh, akhir semester dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelas sepuluh, akhir semester dua. Pertama kali Helga mengizinkan dirinya cemas akan sosok Abrari Cettasaka yang terbujur lemah di rumah sakit. Pertama kali juga Helga langsung lari terbirit meninggalkan rumahnya ketika Niko menelpon, "Gue mau jenguk Abra. Ikut nggak lo?"

Setelah itu, telpon-telpon dari orang lain yang terkait dengan Abra selalu berhasil membuat jantung Helga mencelus lebih dulu—takut akan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Itu juga yang Helga rasakan saat menerima panggilan dari Sam, kurang lebih setengah jam yang lalu.

"Gue rasa lo perlu ke sini. Abra mungkin butuh lo, Hel."

Kalimat itu cukup untuk membawa Helga ikut duduk mengelilingi meja ini—di sebuah restoran yang sering mereka kunjungi terutama usai futsal—bersama empat laki-laki lainnya, termasuk Abra. Abra yang terlihat kacau; mata dan hidung sembab, rambut kusut. Helga sudah berkali-kali menyaksikan Abra di kondisi terlemahnya, tapi malam ini berbeda. Abra yang kemarin-kemarin Helga saksikan di kasur rumah sakit maupun kamarnya sendiri selalu berusaha tampak baik-baik saja. Tapi kali ini tidak—Abra seakan membebaskan perasaan-perasaan yang ia berusaha kurung dari dulu; bagian yang bahkan Helga pun tidak pernah lihat.

Elbrian Cettasaka. Helga dan ketiga teman Abra sebatas mengenal kakak Abra dari sebaris nama itu. Dulu. Namun, di meja ini, Abra akhirnya menghamparkan cerita mengenai penyandang nama tersebut. Bang El, seorang kakak yang begitu cemerlang dan Abra kagumi, tapi hangat bukan caranya dalam berkomunikasi. Laki-laki yang seiring beranjak dewasa perlahan menjauh dari rumah. Hanya menanam pahit juga benci tatkala bersemuka dengan Abra—benci yang tidak hanya tertuju pada kakaknya, tapi juga dirinya sendiri.

"Gue nggak tau sejak kapan, mungkin sejak gue sakit-sakitan dulu—gue nggak inget. Yang gue tau, gue punya abang yang terlalu benci sama gue dan orangtua yang terlalu sayang sama gue sampe gue nggak tau harus jadi siapa. Semua yang gue lakuin nggak pernah kerasa cukup buat abang atau terlalu berlebihan buat nyokap. Gue bingung harus ngapain lagi. Gue tau mereka kayak gitu karena memang gue yang paling lemah. Meski gue selalu berusaha buat buktiin kalo gue bisa berdiri sendiri, tapi pada akhirnya gue memang ngerepotin dan bikin khawatir orang lain. Mungkin ... gue emang selemah yang mereka pikirin. Terus malam itu ..." Tercekat, Abra menelan ludah, "waktu gue liat abang gue ... kesakitan .... Gue nggak bisa ngapa-ngapain. Gue merasa apa yang gue rasain sampe sekarang nggak ada apa-apanya. Bahkan untuk ukuran orang yang gue benci, nyatanya dia masih bisa bikin gue takut dia bakal ... kenapa-napa dan pergi kayak nenek."

Semua pasang mata di meja itu terpekur. Mencerna dalam diam semua cerita yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Di balik seorang Abrari yang ambisius dan terlihat yakin dengan apa yang ia lakukan, ternyata ada luka yang dibawanya hingga hari ini.

"Lo nyimpen itu semua sendiri selama ini ... apa nggak meledak tuh pala lo?" Gibran yang akhirnya bersuara.

"Udah meledak dia mah. Nggak inget lo waktu futsalan tadi?" sahut Krama. "Kasian vokalis kita satu ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

let me walk with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang