8. Buaya

110 30 5
                                    

Pada seneng jadi silent readers, ya?
Jadi nggak semangat update, deh🤧

.

.

.

Kegaduhan tiba-tiba saja terjadi di lobi rumah sakit. Pasalnya, seorang anak kecil tiba-tiba menangis dengan kencang tanpa orang-orang tahu alasannya.

Beberapa orang yang melihatnya mulai merasa terganggu, bahkan perawat dan beberapa staff rumah sakit berikut satpam juga mencoba mengambil hati anak kecil itu. Namun, bukannya berhenti menangis, anak itu justru semakin mengencangkan suara dan tangisnya. Orang-orang jadi bingung bagaimana cara menenangkan anak itu.

Jewi yang kebetulan habis membeli beberapa camilan di supermarket pun akhirnya ikut tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia pun menghampiri salah seorang pengunjung yang berdiri tidak jauh darinya.

"Ada apa, ya, Pak?" tanya Jewi pada lelaki paruh baya itu.

"Itu ... anak kecil itu terus-terusan menangis tanpa tahu sebabnya. Perawat-perawat dan satpam itu juga sudah mencoba menenangkannya, tapi tetap saja anak itu tidak berhenti menangis," jelas bapak itu. "Rasanya pusing mendengar suaranya." Bapak itu mengelus kepalanya benar-benar terlihat pusing.

"Oh, begitu."

Karena merasa tidak enak juga dengan pasien dan pengunjung rumah sakit yang pastinya merasa terganggu, Jewi pun menghampiri anak itu dan mencoba untuk menenangkannya. Namun, seperti kata bapak tadi, anak itu benar-benar enggan untuk ditanya dan ditenangkan.

"Ada apa, Dik. Bisa bilang sama kakak? Nanti coba kakak bantu," ujar Jewi masih belum menyerah.

"Sepertinya dia sedang mencari omanya, Dok," bisik seorang perawat yang berdiri tepat di samping Jewi.

"Kamu mencari oma?" tanya Jewi pelan. Beberapa kali Jewi juga mencoba melakukan sentuhan pada anak itu, namun anak laki-laki itu terus menolak bahkan kini mulai memberontak. Dia mencoba mendorong Jewi namun berusaha ditahan oleh Jewi. Dan pada saat Jewi lengah, tiba-tiba anak itu mencakar pipi Jewi hingga terluka. Semua orang kaget dan mencoba menahan anak itu agar tidak melakukan hal lain.

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba seseorang muncul dan ikut berjongkok di samping Jewi yang memegangi pipinya yang mengeluarkan darah. Sosok yang tak lain adalah Rafka itu pun mencoba menyentuh kedua lengan anak itu dan berusaha agar dia dan anak itu melakukan kontak mata. Setelah yakin dia sudah mendapat kontak dengan anak itu, Rafka mulai mengelus pelan bahu anak itu dengan ibu jarinya.

"Adik kenapa? Ada yang sakit?" tanya Rafka dengan nada tenang. Ekspresinya pun terlihat tidak terganggu dengan suara tangis anak itu. "Ayo, covba adik bilang. Mau apa?"

"Ma, eh ... mah. Ma," ujar anak itu dengan suara terbata-bata.

Rafka yang tidak tahu apa yang dikatakannya pun kembali mencoba bertanya. Tentunya masih dengan nada dan juga ekspresinya yang tenang. "Mama?" ulang Rafka.

Anak itu menggeleng cepat. "Maaa, omaaa."

"Oh, Oma?" Anak itu mengangguk cepat. "Omanya ke mana?"

"T-tidak tahuuuu."

"Begitu. Mau mencari oma sama kakak tidak?" tawar Rafka.

Anak itu tidak menjawab, namun tangisannya perlahan terhenti meski matanya masih mengeluarkan air mata.

"Ayo, kita cari sama-sama. Siapa tahu oma lagi sembunyi dan menunggu Adik mencarinya! Kan kasihan." Anak itu tampak berpikir keras. Namun pada akhirnya dia maju selangkah mendekati Rafka –memberikan tanda bahwa dia ingin mencari omanya bersama Rafka. "Tapi sebelum kita cari oma. Adik ... siapa namanya?"

"Kian."

"Nah, sebelum kita mencari oma, Dek Kian minta maaf dulu, ya, sama dokter Jewi. Soalnya tadi Kian tidak sengaja mencakar pipi dokter cantik ini." Kian menatap Jewi dengan wajah memerah. Terlihat jelas jika dirinya merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. "Kakak suka sekali loh sama dokter Jewi. Dia dokter favorit kakak di sini."

Kian menatap Rafka dan Jewo secara bergantian. Namun, pada akhirnya dia bergumam pelan. "Kian minta maaf," ujar Kian dengan mata yang kembali berair –siap menangis.

Menyadari hal itu, buru-buru Jewi mengelus kepala Kian. "Tidak apa-apa. Kakak kan seorang dokter. Jadi nanti bisa mengobati luka kakak sendiri."

"Kalau butuh bantuan kak Jewi juga bisa minta bantuan saya," ucap Rafka tanpa melihat lirikan maut Jewi.

Rafka menggenggam tangan kecil Kian dan bersiap untuk membawa anak itu entah ke mana. Pasalnya, yang terpenting saat ini adalah Kian bisa tenang dan tidak membuat keributan di rumah sakit. Mencari keberadaan omanya itu urusan belakang. Tapi, belum jauh melangkah tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dan menghampiri Kian dengan raut khawatir.

"Ya Tuhan, cucuku. Kamu ke mana saj?!" ucap wanita itu dengan nada putus asa. Dia segera memeluk Kian dengan erat. "Saya tidak melihatnya tadi. Saya pikir dia ikut di belakang saya. Tapi saat saya mencarinya, ternyata dia tidak ada. Saya benar-benar khawatir."

Rafka tersenyum dan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Ini permen buat Kian."

"Bilang apa, Nak?"

"Makasih, Kak."

"Sama-sama." Rafka mengelus kepala Kian. "Lain kali, kalau ikut sama oma, Kian jangan ke mana-mana, ya. Harus ikut oma terus."

"Baik, Kak."

Oma Kian mengucap banyak terima kasih pada Rafka karena telah menjaga Kian.

"Tidak masalah, Bu."

Selagi Rafka berbicara dengan oma Kian, beberapa celetukan kagum orang-orang pada Rafka sukses membuat Jewi menyetujui hal itu. Dia tidak menaruh ekspektasi tinggi bahwa Rafka bisa menenangkan anak kecil dengan begitu mudahnya.

"Wah, dia hebat."

"Cocok sekali jadi pendamping hidup."

"Dia keren sekali."

"Laki-laki yang seperti itu yang kucari."

Celetukan itu terus terdengar hingga Rafka menghampiri Jewi. Rafka menatap Jewi cukup lama hingga sukses membuat Jewi merasa salah tingkah.

"Ada apa?" tanya Jewi merasa aneh dengan tatapan itu.

"Ayo, ikut denganku."

"Ke mana?"

"Ikut saja."

Tidak ingin menjadi bahan penglihatan orang-orang, mau tak mau Jewi pun akhirnya mengikuti langkah Rafka.

***

"Ayo, duduk."

Jewi mengikuti arahan Rafka, sementara Rafka mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Apa itu?"

"Ini plaster luka."

"Sepertinya kantong celana kamu seperti kantong Doraemon, ya? Selain ada permennya, ada plaster luka juga. Jangan-jangan ada baling-baling bambu juga?" tanya Jewi merasa takjub karena tidak terpikirkan jika Rafka akan membawa hal semacam plaster luka di kantong celananya.

"Ini hanya untuk berjaga-jaga. Mana sini."

"Aku bisa sendiri." Jewi berniat untuk mengambil plaster itu, tapi Rafka menjauhkan tangannya sehingga Jewi tidak bisa mengambilnya.

"Kamu tidak bisa melihat lukanya di mana. Sudah, jangan keras kepala."

Jewi memiringkan wajah dan membiarkan Rafka memasangkan plaster luka. Sementara Rafka memasangnya, Jewi tiba-tiba berceletuk.

"Sudah berapa wanita yang kamu beri plaster luka?"

"Hah?"

"Biasanya buaya suka cari kesempatan."

"Aku buaya jinak cuma sama satu pawang." Rafka tertawa kecil. "Mau tidak jadi pawangku?"

***


There's No Place Like YouWhere stories live. Discover now