11. Rival

96 25 1
                                    


Sesuai dengan rencana Jewi, setelah makan siang bersama dengan Rafka, dia menjenguk mama Rafka yang tentunya langsung disambut dengan antusias oleh mama Rafka. Namun, Jewi merasa sedikit terkejut saat pandangannya tidak sengaja bertemu dengan dokter Una. Jewi tidak memikirkan kemungkinan itu, maka dia pun akhirnya merasa sedikit canggung saat berada di ruangan itu.

"Nak Jewi? Tante baru ingat kalau kamu ternyata salah satu dokter di rumah sakit ini juga," ujar tante Nisa saat Jewi menyimpan buah yang dibelinya di atas nakas.

"Itu berarti mama sudah tua," celetuk Rafka seraya mengambil tempat duduk untuk Jewi.

Tante Nisa tertawa pelan. "Mungkin juga. Makanya kamu segera nikah."

"Apa hubungannya mama yang udah tua dengan aku yang disegerakan menikah?"

"Iya lah. Siapa tahu nanti mama pikun dan lupa kalau kamu anak mama. Kan tidak lucu. Belum juga punya istri masa mama sudah lupa sama anak sendiri," balas tante Nisa dengan nada bercanda. Ucapannya itu bahkan sukses membuat orang-orang yang ada di ruangan itu tertawa.

"Tante tinggal pilih saja. Ini ada dua orang perempuan cantik yang pastinya cocok untuk Mas Rafka," timpal Yaya –sepupu Rafka yang saat ini duduk santai sambil memakan roti lapis yang dibawakan oleh Rafka.

Rafka menjentikkan jemarinya. "Benar, Ma. Ayo, sekarang Mama pilih. Mau Una atau Jewi?" Rafka melirik dokter Una dan Jewi secara bergantian.

"Apa, sih, Ka." Dokter Una mengerutkan keningnya seolah tak suka dengan ucapan Rafka.

"Jangan minta mama memilih. Kan kamu yang mau menikah, ya kamu yang pilih lah," balas mama Rafka diiringi senyum lebar di bibirnya.

"Bisa dua-duanya tidak, ya?"

"Jangan maruk, Mas. Tidak baik," protes Yaya.

Dokter Una menatap Jewi yang saat ini hanya bisa tersenyum canggung mendengar percakapan Rafka dan keluarganya itu. Diam-diam di dalam hati pun dia bertanya-tanya, kenapa Jewi bisa kenal dengan Rafka dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikiran Una saat ini. Tapi ternyata tidak hanya dokter Una yang berpikir demikian. Jewi pun memikirkan hal yang sama.

"Kalau boleh tahu, apa kamu sedang tidak ada pasien, Dokter Jewi?" tanya dokter Una dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Jewi.

Jewi tersenyum tipis. "Ada. Hanya saja, aku menyempatkan diri sebentar untuk menjenguk tante Nisa," jawab Jewi.

"Oh, begitu."

"Karena waktu istirahat sudah selesai, saya izin pamit dulu, Tante," ucap Jewi pada Nisa.

Nisa yang merasa Jewi terlalu cepat pergi membuatnya segera menahan perempuan itu dengan sebelah tangan yang masih bisa sedikit digerakkan. "Kenapa cepat sekali, Nak Jewi? Padahal tante masih mau bicara dengan Nak Jewi."

Jewi membalas genggaman Nisa. "Nanti saya ke sini lagi, Tante. Untungnya dokter Una mengingatkan, jadi saya harus menemui pasien saya dulu."

"Iya, Ma. Lagipula, Jewi kerja di sini setiap hari. Jadi tidak usah khawatir kalau dia tidak menjenguk Mama. Kalau pun dia tidak datang, nanti aku yang menjemput dia, kalau perlu memaksanya datang demi Mama," timpal Rafka mencoba membuat mamanya tidak berusaha menahan Jewi yang harus bekerja.

Jewi tersenyum canggung dan melirik Rafka dengan tatapan yang membuat laki-laki itu sedikit merinding. "Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Tante. Cepat sembuh." Jewi melirik ke arah Rafka yang kebetulan sedang menatapnya. "Aku duluan."

Rafka mengangguk pelan. "Perlu kuantar?"

"Tidak perlu."

"Saya akan ikut keluar sebentar, Tante," ujar dokter Una saat Jewi bersiap pergi.

Dokter Una yang berada tepat di belakang Jewi melangkah pelan. Tatapannya lurus di belakang Jewi yang saat ini sudah membuka pintu. Tatapan itu terus bertahan hingga mereka berdua berada di luar ruangan.

Jewi tidak bodoh, karena dia bisa menangkap maksud dokter Una mengikutinya keluar ruangan, dia pun menghentikan langkah dan berbalik menghadap dokter Una.

"Mau membicarakan sesuatu?" tanya Jewi dengan sebelah alis terangkat.

"Kelihatan, ya?" Jewi tidak menjawab. Dia hanya diam dan membiarkan dokter Una menyampaikan apa yang ingin dia ucapkan pada Jewi. "Bagaimana bisa kamu kenal dengan Tante Nisa?"

"Maksud kamu Rafka?" tanya Jewi dengan senyum kecil di bibirnya.

"Ya, salah satunya."

Jewi melipat kedua tangan di depan dada lalu memiringkan kepalanya seolah berpikir. "Hmm, karena ... dijodohkan?"

Kening dokter Una mengerut dalam, perubahan ekspresi itu sangat jelas tertangkap oleh indra penglihatan Jewi. Dan karena itu pula, Jewi bisa menyimpulkan bahwa dokter Una dan Rafka sebelumnya ada 'apa-apa', atau ... sampai sekarang masih?

Dokter Una menarik napas panjang –berusaha menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya. "Maksud kamu ... kamu dan Rafka dijodohkan?"

"Bisa dibilang seperti itu?"

Dokter Una tersenyum kecil. "Kamu tidak sedang berbohong, kan?"

"Menurutmu, untuk apa aku berbohong?"

"Ingin membuatku cemburu?" jawab dokter Una cepat.

Oke, dari jawaban itu Jewi sudah bisa menyimpulkan bahwa dugaannya benar. Dokter Una dan Rafka sedang ada 'apa-apa'. Meski demikian, Jewi tetap ingin memastikannya sekali lagi.

"Kalian ... ada hubungan something ... special?"

Dokter Una tampak enggan menjawab pertanyaan itu. Diamnya selama beberapa menit membuat Jewi sedikit skeptis dan bersiap untuk pergi tanpa mendapat jawaban yang diinginkan. Namun, sebelum dia pergi dokter Una kembali membuka suara.

"Kami pernah punya hubungan special."

"Pernah berarti sudah selesai."

"No. Masih belum."

Sebelah alis Jewi terangkat karena penasaran, dia berharap dokter Una akan melanjutkan ucapannya. Namun ternyata keinginannya tidak tercapai karena dokter Una tiba-tiba pergi. Jewi membiarkan, karena Jewi merasa tidak berhak untuk banyak tahu kecuali dia ingin menjadi posesif sementara hubungannya dengan Rafka tidak jelas. Atau ... hanya dia yang tidak bisa memberikan kejelasan?

"Bahkan sampai urusan hubungan dengan lelaki pun aku harus menjadi rival dokter Una? Hah! Bercanda sekali," gumam Jewi sebelum ikut pergi dan menemui pasien-pasiennya.

***

There's No Place Like YouWhere stories live. Discover now