9. Cemburu?

122 24 3
                                    


“Dengar-dengar tadi ada keributan di lobi, ya?” tanya Syakila seraya menyesap kopinya.

“Iya. Tadi ada anak kecil yang kesasar. Dia tidak tahu omanya ke mana,” jelas Jewi singkat.

“Lo, memangnya omanya tidak lihat cucunya ke mana?”

“Tidak. Dia jalan saja, dikiranya cucunya jalan di samping dia, ternyata tidak.”

Syakila mengangguk paham. “Terus gimana?”

“Ya akhirnya omanya itu datang.”

“Tapi dengar-dengar ada cowok yang menenangkan anak itu. Dan katanya itu kenalan kamu.”

“Dia Rafka. Ingat, kan?”

“Si pemilik resto itu, kah?” Jewi mengangguk pelan. “Wah, tidak heran dia langsung jadi idaman para staff rumah sakit. Selain jago berbisnis, ternyata dia juga bisa mengerti anak-anak.”

“Jadi ceritanya Mbak juga tertarik, nih?”

“Hmm. Memangnya kamu tidak cemburu kalau aku tertarik?”

Jewi melirik Syakila dengan tatapan sewot. Bisa-bisanya dia disangka cemburu. “Tidak lah, Mbak.”

Syakila tertawa kecil lalu mendekat ke arah Jewi dan duduk tepat di samping sahabatnya itu. “Aku penasaran, deh. Memangnya cowok yang kamu suka itu yang kayak bagaimana, sih, Wi? Cowok se-wow Rafka saja kamu kayak tidak tertarik. Apa harus Lee Min Hoo yang maju baru kamu terima?”

Jewi terbahak mendengar ucapan Syakila. Bisa-bisanya seorang aktor papan atas mau disandingkan dengan dokter biasa seperti dirinya? Lagipula, tahu diri lah, kalau dipikir-pikir memakai nalar manusia, itu sangat tidak mungkin. “Mbak, sebenarnya aku yang jadi korban drama Korea atau kamu, sih? Ya kali Lee Min Ho tiba-tiba jadi pasangan aku?”

“Ya kan siapa tahu. Kamu jadi gigih dan penginnya cuma sama dia.”

“Duuh, apa sih, Mbak. Kamu jangan mengada-ada. Yuk, balik kerja dulu. Jangan kebanyakan memikirkan cowok.”

Jewi menarik tangan Syakila dan mengajaknya untuk menemui pasien-pasien mereka. Sementara Syakila hanya bisa mengikuti kemana Jewi akan membawanya.

***

“Bapak sudah bisa pulang besok,” ujar Jewi pada salah satu pasiennya. Senyum lebar ikut menghias bibir Jewi tatkala melihat pasien dan juga keluarga pasiennya itu terlihat bahagia setelah mendengar ucapan Jewi. “Tapi jangan lupa obatnya harus rutin diminum, ya, Bu, Pak. Usahakan sampai habis.”

“Baik, Dokter.”

“Bapak sudah punya daftar menu makanan yang akan dimakan, kan?” Semua tertawa. “Saya tahu makanan di rumah sakit itu tidak terlalu enak,” lanjut Jewi dengan nada berbisik.

“Aduh, Dokter bisa saja.”

Jewi tertawa kecil. “Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Pak, Bu. Sampai jumpa besok.”

“Baik, Dokter. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama.”

Jewi melangkah dengan kaki yang terasa ringan. Seperti yang pernah diucapkan  bahwa kesembuhan pasien adalah kebahagiaan bagi seorang dokter. Maka, tidak heran jika sekarang Jewi tampak bahagia.

“Wah, ada apa ini? Ada yang bahagia, nih?” ujar dokter Syakila saat melihat Jewi keluar dari bangsal pasiennya.

“Iya, dong. Pasien aku besok udah boleh pulang.”

“Wah, kalau begini kamu bisa dinobatkan sebagai dokter terbaik,” ujar Syakila seraya menepuk tangannya bangga.

“Aku sangat menantikan kalau saja ada penobatan seperti itu, Mbak.”

“Wah, bukannya itu dokter Una?”

Jewi mengikuti arah pandang dokter Syakila dan menemukan sosok dokter Una yang sedang mengobati luka di kaki seorang anak perempuan dengan sangat telaten. Yang membuat Jewi takjub adalah perubahan sikap dokter Una yang biasanya terlihat dingin kini berubah 180 derajat. Dia seperti bukan dokter Una dengan sikap ramahnya yang sekarang terlihat tidak dipaksakan.

“Hah? Dia benaran dokter Una?” gumam Jewi masih takjub.

“Iya, dia benar dokter Una. Wah, wah. Ternyata cantiknya dokter Una bertambah kalau tersenyum, ya?”

Jewi mengangguk pelan. “Kenapa sikap dia tiba-tiba berubah seperti itu, ya?”

“Kamu yakin dia berubah?”

“Apalagi kalau tidak berubah, Mbak?”

“Bagaimana kalau dia aslinya memang seperti itu?”

Jewi terdiam dan membenarkan ucapan Syakila di dalam hati. Lagipula yang dia lihat selama ini bisa saja topeng yang dipakai oleh dokter Una karena Jewi adalah rivalnya. Tidak mungkin kan dokter Una bersikap ramah pada rivalnya sendiri? Terlebih saat tahu karakter dokter Una juga tidak pantang menyerah sama seperti dirinya, jadi sangat wajar jika dia membuat topeng lain saat dengannya.

“Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan.” Syakila merangkul bahu Jewi dan mengajaknya untuk kembali ke ruangan masing-masing. Namun, teriakan seseorang yang terdengar panik membuat Jewi dan Syakila menghentikan langkahnya.

Beberapa orang perawat berlarian seraya mendorong brankar dengan cepat. Jewi yang merasa harus untuk mengecek pasien tersebut lantas bersiap untuk menghampirinya, namun seseorang bergerak lebih cepat dan menyenggol bahu Jewi hingga membuat Jewi menghentikan langkahnya. Tepat setelah itu seseorang yang Jewi kenali muncul dari mulut pintu dengan darah yang memenuhi kemeja abu-abunya. Wajahnya terlihat panik, saking paniknya, dia sampai tidak menyadari kehadiran Jewi di sana.

“Itu bukannya Rafka? Cowok yang naksir sama kamu?” tanya Syakila mencoba meyakinkan diri.

Jewi tidak menanggapi ucapan dokter Syakila dan bergegas mengikuti ke mana Rafka melangkah. Rafka berhenti tepat di depan ruang operasi hybrid dan Jewi segera menghampirinya. Namun lagi-lagi Jewi harus mengurungkan niatnya tatkala dokter Una keluar dan menghampiri Rafka yang terlihat panik. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi setelah mereka berbicara beberapa menit, Rafka terlihat memegang tangan dokter Una dengan sangat erat. Wajahnya tampak putus asa dan frustrasi.

Setelah melepas genggamannya, dokter Una kembali ke dalam ruangan operasi hybrid. Meninggalkan Rafka sendirian di sana. Meski demikian, Jewi tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia hanya melihat Rafka beberapa menit sebelum memutuskan untuk kembali ke ruangannya bersama dokter Syakila.

***

“Ada apa? Siapa yang Rafka tolong itu?”

Jewi sempat melihat siapa yang terbaring di brankar itu saat melewatinya. Itu adalah mama Rafka. Entah apa yang terjadi tetapi Jewi merasa tidak berhak untuk banyak tahu. Apalagi saat ini sudah ada dokter Una yang menjadi dokternya.

“Dia mamanya Pak Rafka.”

“Hah? Pak?" Jewi mengangguk cepat. Ingin sekali Syakila menanyakan kenapa tiba-tiba Jewi memanggil Rafka dengan sebutan 'pak', namun segera diurungkan karena Jewi terlihat sedang ... tidak baik-baik saja?  "Apa yang terjadi?”

“Aku juga tidak tahu, Mbak.”

“Tapi kamu tadi-“

“Aku bukan dokternya. Nanti Mbak tanya dokternya, ya.”

Syakila tidak lagi memperpanjang pembicaraan itu. Dia memilih diam karena semua sudah dijawab oleh Jewi. Dan lagi ... mood Jewi terlihat tidak baik. Jadi sebaiknya Syakila tidak banyak bicara.

“Aku mau keluar beli ice cream. Mau tidak?” tanya Syakila menawarkan.

“Boleh Mbak. Aku mau dua yang rasa mangga.”

“Oke. Tidak apa-apa sekali-kali makan dua. Siapa tahu itu bisa mendinginkan hatimu.”

“Mbak bilang apa?”

Syakila buru-buru keluar ruangan dan sengaja menulikan diri dari pertanyaan Jewi. “Wah sepertinya ada yang cemburu,” gumam Syakila tersenyum sendiri.

***

There's No Place Like YouDove le storie prendono vita. Scoprilo ora