13. Membuka hati?

125 31 1
                                    


Jewi memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh sejenak. Hari ini kerjaannya sangat hectic dan itu sukses membuat tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Punggung Jewi yang terasa tegang pun disandarkan pada dinding taman. Menikmati semilir angin yang membelai wajah lelahnya. Hampir saja Jewi tertidur, jika bukan karena ponselnya yang tiba-tiba berdering, dan membuat kesadarannya yang sempat teralihkan itu kembali.

"Halo, Ma? Ada apa?" tanya Jewi setelah menerima telepon dari mamanya itu.

"Tidak apa-apa. Mama hanya ingin tahu. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Ma."

"Jangan makan yang pedas-pedas, ya. Nanti perut kamu sakit."

"Iya, Ma. Mama sendiri sudah makan?"

"Sudah. Baru saja sama papa kamu. Mama masak sambal pete kesukaan Bela lo. Mama ada sisain juga buat kamu. Kamu tahu kan papa kamu tuh mirip Bela. Apalagi kalau sudah lihat yang namanya pete. Bisa dihabiskan semua."

"Baik, Ma. Nanti aku pulang, ya."

"Iya. Nanti Bela marah juga kalau sampai kamu tidak makan makanan kesukaan dia, kan?"

Jewi menarik napas panjang. Hari ini dia lelah sekali, dan dia mulai dihantui banyak pikiran terkait profesinya saat ini. Sejak kejadian di mana dia merasa dibela oleh Rafka, pikiran Jewi mulai sedikit kacau. Pikiran mengenai kebenaran terkait profesinya. Apakah benar ini keinginannya atau justru keinginan Bela? Jewi benar-benar bingung sekarang.

"Ma, stop."

"Stop kenapa?"

"Stop membicarakan Bela dan menganggap aku ini dokter karena menuruti keinginan Bela. Aku menjadi dokter karena aku ingin, bukan karena Bela." Air mata mulai meluncur dari pelupuk mata Jewi. Yang selama ini ditahan akhirnya dikeluarkan juga.

"Bukannya kamu ... nggak mau jadi dokter? Kamu bicara seperti itu hanya karena tidak mau mama kepikiran lagi, kan?"

"Tidak, Ma. Aku yang sejak kecil memang ingin menjadi dokter. Tapi Mama ... Mama terus mengaggap jika itu adalah keinginan Bela. Ma, apa Mama tahu jika selama ini aku menjadi dokter tetapi merasa tidak pantas? Itu karena aku terus terpikir apakah benar aku menjadi dokter karena Bela? Dan aku menyadari bahwa itu adalah keinginanku, dan stop terus menyebut nama Bela di hadapanku."

Jewi memutuskan sambungan telepon lalu memasukkan ponsel miliknya pada saku jas dokter yang dikenakannya. Emosinya benar-benar terkuras saat ini, namun di sisi lain dia juga merasa lega karena telah mengungkapkan hal yang selama ini membuatnya terbebani. Meski tentu saja Jewi juga sedikit kepikiran dengan mamanya yang pasti kaget mendapati anaknya marah-marah seperti tadi.

Jewi menarik napasnya panjang-panjang lalu mengembuskannya dengan pelan. Air mata yang tadi merembes keluar pun akhirnya dilap menggunakan tangan. Tatapannya mengarah ke langit lalu membayangkan senyum Bela yang mampu membuatnya merasa lebih baik.

"Kak Bela, maaf kalau aku harus melakukan ini. Tapi aku benar-benar sudah tidak sanggup dianggap sebagai kamu oleh mama," ujar Jewi dengan suara yang sedikit serak. "Maaf kalau aku sekarang menangis seperti sekarang karena hal sepele."

Sementara dari jauh, seseorang menatap Jewi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebenarnya tadi Rafka ingin menghampiri Jewi yang terlihat sendiri di taman, tetapi melihat Jewi yang terlihat lebih emosional dari biasanya membuat Rafka menahan diri dan memilih untuk memperhatikan Jewi dari jauh.

Jewi telah sampai pada bom waktu yang selama ini ditahan. Entah sudah berapa lama dia menyimpan semuanya sendiri, tapi Rafka bangga karena akhirnya dia mau mengungkapkan semuanya.

Ada satu hal yang selalu Rafka tekankan pada kliennya yang juga senang menyimpan perasaan sendiri. "Sesekali ungkapkan sesuatu yang membuatmu terbebani. Menyimpannya terlalu lama itu tidak baik. Selain hanya menyakiti dirimu, hal itu sewaktu-waktu akan membuatmu merasa tidak nyaman dan pada akhirnya meledak di waktu yang tidak kamu sangka."

Tidak ingin membiarkan Jewi merasa terganggu, Rafka memilih untuk pergi. Namun, saat dia baru saja berbalik dan bersiap untuk pergi, tiba-tiba ucapan Jewi membuatnya mengurungkan niat itu.

"Aku cukup malu karena dilihat oleh kamu."

Rafka menoleh dan melihat ke arah Jewi yang kini menatapnya dengan kedua mata yang terlihat sedikit sembab. "Wah, aku ketahuan ternyata."

Jewi tersenyum kecil yang berhasil membuat Rafka terkesima. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Tadinya aku pengin temani kamu duduk di sini, tapi aku lihat kamu lagi bicara sama mama kamu. Jadi aku memilih untuk diam dan memperhatikan kamu saja," jawab Rafka jujur. Dia lalu duduk di samping Jewi dan membiarkan angin sepoi-sepoi ikut membelai kulit wajahnya.

"Ternyata kamu benar. Setelah mengungkapkan hal yang memberatkan batin ternyata bisa membuat aku jadi lega." Jewi tersenyum lalu menatap ke arah Rafka. "Kalau aku tidak mengikuti saran kamu, aku tidak mungkin bisa merasakan perasaan sebebas sekarang. Meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah aku mengatakan semuanya."

"Masa depan siapa yang tahu? Meski kata orang yang terjadi saat ini akan mempengaruhi masa depan, tapi masa depan selalu di luar kendali kita. Hidup saja di saat ini, bukan di masa depan. Kita berencana, Tuhan yang punya kendali."

"Rafka, sekarang ini aku apa?"

"Maksudnya?" Sejujurnya Rafka sedikit kaget karena baru kali ini Jewi memanggilnya dengan begitu santai. Biasanya kalau tidak diiringi dengan nada sewot, pasti dirinya akan mendapat omelan atau ucapan sinis. Tapi kali ini benar-benar terasa berbeda.

"Sekarang ini apa aku sebagai klien kamu atau bukan?"

"Bukan. Kenapa memangnya?"

"Baguslah. Karena setahuku klien dan psikolog itu tidak boleh menjalin hubungan spesial. Apa aku benar?"

Rafka menaikkan sebelah alisnya. Otaknya tidak mungkin salah –bahwa saat ini Jewi telah membuka pintu hati untuknya?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

There's No Place Like YouWhere stories live. Discover now