04. Berpisah.

51 10 7
                                    

(Never) Goodbye.
The path you need to take
May be different from mine
We can't always walk in the same direction

Kini lagu-lagu yang aku dengarkan bukan lagi kisah menyenangkan usai perjalan yang semestinya menyenangkan. Butuh waktu sedetik untuk melihat ke arahnya, butuh waktu beberapa bulan untuk mengetahui ketertarikanku padanya, butuh waktu satu tahun untuk mendekatinya, tapi butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakannya.

⋆⁺₊⋆ ☾⋆⁺₊⋆

Waktu itu,
Kami memutuskan untuk pergi jalan-jalan bersama. Tentunya tidak hanya berdua. Ada beberapa teman-temanku, 3 perempuan, 2 laki-laki termasuk kami.

Kami memutuskan ke Kota Tua, di Jakarta. Saat perjalanan ke Kota tua, saat menaiki bis transjakarta bersama, saat berjalan menelusuri jalanan dengan terik matahari panas mengenai kepala, waktu terasa berjalan sangat lama. Langkah kaki kita bagaikan nada-nada indah yang mampu menghangatkan suasana. Melihat ke berbagai arah tak lagi menarik selama dia ada di hadapanku, karena seolah dunia hanya berpusat padanya.

Kami memasuki bangunan tua dengan lukisan-lukisan indah menghiasi dinding. Di tengah-tengah museum ada tangga besar yang masih senggang akan pengunjung.

Semua hal terasa sangat  menyenangkan, sebelum sesuatu menyadarkanku bahwa kita mungkin memiliki jalan yang berbeda. Saat dimana salah satu teman kami, bertanya padanya tentang perasaannya padaku, ia tak menjawabnya. Lama sekali waktu terasa, saat bersama dengan teman yang lainnya, atau ada juga waktu saat berdua saja, namun tak ada suara disana. Ia lagi-lagi tak menyatakan perasaannya, ia tak bertanya ataupun menyatakan apapun, ia lagi-lagi berpaling.

Ada banyak sekali jawaban di kepalaku, tentang alasannya. Apakah bukan waktunya, apakah bukan tempatnya, apakah bukan suasananya, atau apakah bukan seperti itu perasaannya?

Lagi, tak ada pertanyaan, tak ada jawaban.
Kami hanya terdiam. Sampai waktu usai, mengantarkan kami pulang.

⋆⁺₊⋆ ☾⋆⁺₊⋆

Ada waktu dimana, jika memang kami sejalan. Seharusnya ia mengutarakannya, namun lagi-lagi aku hanya berharap. Seperti harapan yang seharusnya hilang sejak lama.

Ketika kami memutuskan untuk menonton film usai pengambilan rapot sekolah. Ada sebuah harapan, yang mungkin memang hanya aku saja yang merasakannya, lagi-lagi. Aku sungguh tidak mengerti, sungguh tidak paham, sungguh ingin bertanya.

Bukankah perjalanan kita telah jauh? Atau perasaannya yang telah pergi jauh?

Mungkin saat itu dirinya tak tahu, perasaan seperti apa yang sedang bergejolak padaku di perjalanan-perjalanan yang mungkin terasa seperti biasa saja. Sesuatu hal yang mungkin terlihat sederharna, saat kita berjalan seirama bersamaan. Saat aku takut-takut untuk menyebrang jalan dengan sekuat tenaga memberanikan diri menggapai lengannya, saat diam-diam menatap punggungnya dari belakang.

Sesuatu yang dekat, kadang terasa jauh. Sesuatu yang ku pikir sudah dekat, ternyata menjauh.

Mungkin, lagi-lagi mungkin. Caraku yang selalu diam-diam kalah langkah dengan cara orang lain yang selalu berada di sekitarnya. Mungkin, perasaan yang besar ini tidak pernah sampai padanya. Mungkin, kebersamaan selama ini, tak sebanyak dengan kebersamaannya dengan orang lain. Jadi aku kalah.

Aku kalah saat suatu hari ia meminta izin untuk menyukai orang lain.
Ternyata, waktu yang aku kira sangat dekat adalah waktu terjauh baginya.

⋆⁺₊⋆ ☾⋆⁺₊⋆

Langit Tanpa BulanWhere stories live. Discover now