Part 6 | Marsh of Agony

1.2K 304 217
                                    

🎶 Now playing: MIIA - Dynasty

🎶 Now playing: MIIA - Dynasty

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.













AKU ingin putus. Kadewa nggak layak jadi pacarku apalagi tinggal di sisiku.

Yaya suka sembunyi, ya?

Kalau gitu, nanti aku bantu Yaya.

Aku bikin Yaya nggak sedih lagi karena ditinggalin orang-orang.

Sepanjang perjalanan pulang, benakku terus memutar kata-kata Kadewa. Rasa bersalah itu kian menggumpal, mengutuki taruhan bedebah yang aku lakukan dengan geng Viska.

Senakal-nakalnya Kadewa, memang kenakalannya merugikan akukah? Kenapa kalau Kadewa hobi nuyul gorengan? Apa masalahnya kalau dia nggak menghormati status kakak kelas? Siapa aku sampai merasa berhak memberinya sanksi? Tuhan?

Tak henti-hentinya aku merutuk. Terlalu lama menjadi wakil ketua OSIS rupanya telah membesarkan egoku. Disenggol sedikit, aku ingin balas dendam.

Kesalahan ini mesti diakhiri. Ya, harus. Traktiran mi ayam sebulan bahkan nggak sebanding dengan Kadewa. Dia jauh lebih berharga. Cepat atau lambat, aku mesti membebaskannya dari keegoisanku.

"Kiri, Pak."

Sang sopir menghentikan angkotnya. Aku berterima kasih singkat sebelum melangkah turun.

Jarak rumahku dan Kadewa lumayan jauh. Akibatnya, aku baru tiba di rumah menjelang azan Magrib. Itu pun berkat jasa Pak Rahman. Beliau yang tahu aku main sampai sore dengan Kadewa, mencarikan angkot yang mengarah ke rumahku. Ongkosnya sekalian dibayari. Hitung-hitung wujud terima kasih sudah membantu Kadewa, katanya.

Sebaik itu, makanya aku memikirkan ulang tentang keputusanku.

"Semoga Mama nggak khawatir aku pulang sore."

Beranjak membuka pintu gerbang, fokusku tertambat pada hal lain. Pintu rumah masih dikunci. Tandanya Mama belum pulang.

Aku menaruh kantong kresek berisi baju kotor di keranjang cucian. Keheningan yang menjawab salam menyentak kesadaranku habis-habisan.

Khawatir pulang sore? Hei, bangun, Zaviya! Mama kamu bukan Bu Nafiza.

Setengah hari berinteraksi dengan keluarga bahagia membuatku lupa pada kenyataan. Kenyataan bahwa di penghujung hari, yang kupunya hanyalah kesunyian. Rumahku nggak sehangat rumah Kadewa.

Aku menunduk.

Kurasa efek samping membaur dengan anak dari keluarga harmonis seperti ini. Pantas anak broken home lebih senang berkumpul dengan anak broken home lain. Menyadari aku nggak memiliki semua kehangatan itu meninggalkan jejak luar biasa pahit.

"Udahlah, jatah bahagia kamu cuma segitu, Zaviya."

Aku meninggalkan tas di ruang televisi. Ada banyak hal yang perlu aku lakukan ketimbang meratapi nasib. Mandi dan mencuci baju, misalnya.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang