Part 9 | Dance of Inferno

1.4K 316 570
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.










PIKIRANKU kosong. Suara-suara terdengar menjauh, menyisakan dentuman nyaring di telinga.

Tolong katakan bahwa aku salah dengar atau nama Kadewa Caraka Bayukana itu pasaran.

Ka-de-wa.

Siapa yang nggak ingat tuyul gorengan yang menghiasi masa SMP-ku?

Hampir dua puluh tahun berlalu, mustahil aku melupakan bocah yang selalu melambai ceria tiap kali melihatku. Satu-satunya bocah yang memanggilku, "Yayaaa..." dengan senyum polosnya. Bocah yang saking nakalnya sampai nggak pernah ketahuan ambil gorengan empat tapi bayarnya dua.

Bocah yang... aku patahkan hatinya untuk pertama kalinya.

Nggak mungkin dia Kadewa yang itu! Nggak mungkin. Perbedaannya terlalu drastis.

Aku menggeleng berkali-kali. "Oh, nama gue Zav--"

Tunggu. Worst case scenario dia betul-betul si tuyul gorengan, apa yang harus aku lakukan? Tetangga baru apartemenku ternyata mantanku?

"Gue... Uca. Panggil aja Uca, Mas," sambungku terbata.

"Kadewa," ralat laki-laki itu, masih tersenyum. "Thanks ya, Uca, udah ngasih minuman. Abis beres-beres apartemen berdebu jadi pengin rileks nyapa tetangga. Nggak nyesel rupanya. Tetangga gue baik banget."

Nyawaku separuh melayang sehingga tak terlalu mendengarkan.

Uca diambil dari surname Italia. DeLuca. Luca sendiri bisa dimaknai sebagai cahaya. Nggak jauh berbeda dari namaku yang mengandung unsur bulan.

Entah kenapa aku waswas dia mengenaliku sebagai Laluna Zaviya sehingga memilih memperkenalkan diri sebagai Uca.

Kadewa mengusap tengkuk. "Err... Ca, boleh minta nomor WhatsApp? In case ada sesuatu yang pengin gue tanyain, jadi nggak perlu ngetok pintu."

"Nggak punya!" Aku langsung tergagap. Uca adalah manusia purba pengangguran yang nggak kenal dunia maya. WhatsApp nggak punya, surel nggak punya, telepon nggak punya, bahkan ponsel pun diloakkan! "Gue nggak suka internet. Lebih suka hidup sebagai pertapa yang nyari kerja hari demi hari, bulan demi bulan. Nggak ada ponsel! Udah dijual!"

"Really?" Bibir Kadewa berkedut.

Aku mengangguk kuat-kuat. "Iya! Zaman sekarang kan manusia nggak pernah hidup seratus persen di dunia nyata gara-gara gadget. Itu nggak bagus!" racau orang yang sehari menghabiskan berjam-jam di depan laptop demi memantau tren fesyen.

Senyum Kadewa melekuk geli. "Bener juga. Itu sebabnya Uca nggak punya WhatsApp?"

"Iya, gue lebih suka hidup seratus persen di dunia nyata!"

"E-mail juga nggak ada, Ca?"

"Nggak ada!"

"Telepon kabel?"

XOXO, Love You LaterWhere stories live. Discover now