Part 10 | Blaze Within Smoke

1.7K 356 441
                                    

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.












AKU tamat hari ini. Puluhan skenario berlarian di kepala, tetapi nggak ada yang ending-nya terasa menyenangkan.

Kalau boleh berharap, aku ingin meteor jatuh sekarang juga dan melenyapkanku dari hadapan Kadewa.

"Lo...." Bernapas bahkan upaya yang membutuhkan tenaga ekstra. Aku membuka mulut, hampir nggak mampu mengucapkan satu kalimat utuh. "Lo... tahu gue?"

"Tahu?" Senyum di wajah Kadewa memudar. "Are you trying to insult me, Zaviya? Sekalipun lo operasi plastik atau ganti nama, gue selalu bisa ngenalin lo."

Ekspresinya mendingin. Nihil senyum yang ditampakkannya beberapa menit lalu. Nihil keramahan. Kadewa mengeratkan lingkaran lengannya di pinggangku.

Aku membatu, terlalu syok untuk bereaksi.

Jemari Kadewa menelusuri alis, kelopak, lalu berhenti di sudut mataku. Mengelusnya pelan.

"Greenish-grey. Mata yang cantik. Terlalu cantiknya sampai hantuin gue bertahun-tahun..." suara Kadewa merendah, "saking penginnya gue hancurin pemilik mata ini."

Seraut wajah yang sepenuhnya asing balas memakuku. Begitu drastis perubahan ekspresinya. Kadewa yang ini sama sekali nggak ada dalam bayanganku. Dia seakan punya seribu topeng yang berbeda.

Pertanyaannya, aku tengah menghadapi sisi Kadewa yang mana? Yang dingin, tenang, terkendali, dan menyerang sasarannya dengan kalimat-kalimat menusuk?

"Apa kabar, Zaviya?"

Pertanyaan lanjutan itu membuatku tersentak. Lekas aku mundur dari rengkuhan Kadewa, mengambil jarak aman.

"Lo bisa lihat sendiri." Susah payah, aku menahan suara yang goyah. Hanya disapa sekali, ketenanganku langsung remuk.

Kadewa mengangguk-angguk. "Oh iya, pengangguran."

Sialan! Apakah kebohongan konyol satu itu bisa ditarik sekarang? Tahun berlalu, lidah cerdik Kadewa masih membuatku mati kutu.

Aku berusaha menyelamatkan harga diri yang tersisa dengan mendengkus.

"Seneng posisi gue sekarang jauh di bawah lo, Pak Sopir?" Kakiku mendingin. Aku berjalan mundur. "Masa bodo! Silakan lanjutin kegiatan lo bareng cewek-cewek tadi. Gue capek, nggak tertarik reunian bareng mantan."

Sebut aku pengecut karena merasa terancam, bibirku tak henti memberikan balasan sarkastik.

Ikrar kebencian Kadewa mengguncang ketenanganku. Di satu sisi aku berusaha nggak peduli, tetapi di sisi lain aku tahu meremehkan Kadewa merupakan kesalahan fatal.

Dia bilang mengenali Zaviya dari warna mata? Artinya, Kadewa sudah tahu siapa aku sejak bertandang ke apartemen. Namun, lihat, aku dengan polosnya justru menganggap dia sebatas tetangga biasa yang kebetulan membutuhkan toilet.

XOXO, Love You LaterOnde histórias criam vida. Descubra agora