P R O L O G

8.4K 1.1K 320
                                    

AYAHKU payah. Kapan pun Ibu memanggil namanya, dia pasti langsung berubah menjadi kitten penurut. Gonggongan kerasnya seketika ganti meow-meow lembek.

"Itu handuknya ngapain ditaruh di kasur, Ayaaah?"

"Eh, maaf, Yang. Aku lupaaa...."

Ibu keluar dari kamar, kemudian melemparkan gumpalan kain basah. Dengan tangan di pinggang, delikan Ibu membuat Ayah kelabakan memungutnya.

Payah. Padahal, baru saja beberapa menit lalu Ayah marah gara-gara aku membuat robot mainannya jadi cantik dengan spidol punya Ibu. Ayah bilang itu "gundam" jadi nggak perlu dipercantik.

Tatapan Ibu berpindah. Detik berikutnya, ia terkesiap

"I-itu...." Ibu memungut spidol patah dari lantai. Ada banyak spidol lain di sofa, lemari televisi, dan dekat kaki Ayah.

Lutut Ibu jatuh menyentuh karpet empuk. "Anastasia Beverly Hills Brow Definer, empat ratus ribu. Giorgio Armani Foundation, sembilan ratus ribu. Givenchy Loose Powder, delapan ratus ribu. Tom Ford Lip Color, tujuh ratus ribu...." Suara Ibu naik. "Ya Allah, Ayaaah... disuruh jagain kok malah biarin Kaiden nyentuh alat mekapku? Aduh, mana patah jadi dua lagi!"

"Yang, sumpah tadi aku keluar sebentar buat angkat telepon. Kaiden juga anteng nonton TV. Aku kira dia beneran anteng."

"Anteng dari mananya! Bocil kalau anteng kan lagi ada megaproyek yang dikerjain!"

"Gundamku juga kena ini, Yang. Jadi warna-warni."

Aku menatap bergantian robot yang Ayah sebut "gundam" dan spidol yang Ibu sebut "mekap". Bu Guru bilang, aku harus tetap rajin belajar selama liburan. Menonton televisi boleh, tetapi belajarnya jangan dilupakan.

Di kartun yang aku tonton, anak kecilnya mewarnai rumah-rumahan. Karena nggak punya rumah-rumahan, aku mengambil mainan robot punya Ayah supaya bisa ikutan belajar. Spidol warna-warninya ambil di kamar Ibu. Aku pernah lihat Ibu pakai itu. Katanya, spidol itu ajaib dan bisa membuat Ibu lebih cantik.

Sekarang robotnya sudah cantik. Harusnya Ayah dan Ibu senang. Aku nggak lupa belajar seperti pesan Bu Guru.

"Kaiden, coba jelasin. Kamu lagi ngapain kok sampe patah-patahin alat mekapnya Ibu, terus gundamnya Ayah juga diwarnain?"

Ayah mengangkat satu robot cantik dari lantai. Wajahnya berubah seseram tadi sebelum Ibu muncul. Alis tebalnya bertaut mirip ulat bulu.

Aku memeluk kaki Ayah. "Kai belajal, Ayah." Televisi masih menampilkan tayangan kartun. Tanganku menunjuknya. "Kaltunnya mewalnai. Kai ikut mewalnai."

Maksudnya, aku hanya meniru kartun. Ayah biasanya memuji aku anak pintar kalau berhasil menirunya, bahkan Ibu membelikan mainan saat aku berhasil meniru berhitung satu sampai lima puluh.

Namun, kali ini Ayah diam, sementara Ibu tampak hampir menangis.

"Ya, tapi belajarnya nggak perlu pake mekap Ibu, Kai! Kan ada buku," tegur Ibu dengan nada tinggi.

Ayah merangkul pundaknya. "Ssh... udah, udah, nanti aku beliin lagi, Yang. Jangan marahin Kaiden. Cukup kasih pengertian aja." Dada Ayah naik-turun sebelum kepalanya menggeleng pelan. Ia mengurut kening. "Kai, coba sini Ayah lihat gundamnya. Tadi Kai bilang lagi belajar mewarnai?"

"Iya. Bial lobotnya cantik kayak Ibu." Aku bingung apa bedanya robot dan gundam. Kupikir sama saja, jadi nggak masalah kalau menyebutnya robot. "Kai walnain pake sepidol Ibu. Ambil di kamal."

"Kaiden ambil sendiri di meja rias Ibu? Emangnya nyampe?" tanya Ayah.

"Iya. Naik kulsi."

"Astaga...." Bukan Ayah yang bicara, melainkan Ibu.

XOXO, Love You LaterWhere stories live. Discover now