75. Coba Kamu Pikirkan Lagi

3.7K 474 9
                                    

Gavriel tidak tahu bagaimana bisa Gadis justru mengatakan hal seserius itu dikala mereka sedang berdiri dan  dalam keadaan gelap. Hanya cahaya rembulan yang masuk melalui jendela yang menjadi sumber cahaya. Gavriel tak pernah menyangka jika Gadis berpikir jika dirinya adalah orang yang menganut paham bahwa pernikahan harus memiliki keturunan. Ah, tidak... bagi Gavriel pernikahan tak secetek itu. Kehadiran anak terkadang bukan menjadi sebuah sumber kebahagiaan untuk pasangan bilamana pasangan itu belum selesai dengan dirinya sendiri dan belum bisa berkomitmen untuk menjadi orangtua. Butuh kesiapan materi yang tidak sedikit sekaligus mental. Berapa banyak anak yang tidak bahagia karena orangtuanya belum siap memiliki anak? banyak.... banyak sekali Gavriel melihat hal seperti ini disekitarnya. Baginya jika Tuhan belum mempercayakan dirinya menjadi orangtua, berarti ada hal yang memang belum dirasa pantas oleh Tuhan sehingga Tuhan menundanya. Bukankah berpikir seperti itu jauh lebih baik daripada langsung berpikir bahwa tidak akan pernah memiliki keturunan.

Gavriel yang melihat Gadis justru berjalan ke arah dapur dan tidak kunjung kembali ke ruang keluarga memilih menyusulnya.. Saat sampai di sana, dapur dalam keadaan terang dan sosok Gadis terlihat di dekat dispenser sedang meminum air putih. Gavriel memilih menunggu Gadis hingga perempuan itu selesai. Mungkin air putih bisa menenangkan hati serta pikirannya.

"Sejak kapan kamu ada di situ?" tanya Gadis saat ia membalikkan tubuhnya.

"Belum lama."

"Oh," Ucap Gadis sambil mulai berjalan menuju ke arah tempat cuci piring.

"Dis..." Panggil Gavriel kala ia justru melihat Gadis yang enggan untuk membicarakan hal yang serius tadi dengan dirinya. 

"Hmm..."

"Pembicaraan kita tadi belum selesai, kenapa kamu justru pergi gitu aja?"

"Aku haus."

"Berarti bisa kita teruskan pembicaraan yang di dekat tangga tadi?"

Gadis mencoba menutup kedua matanya sekejap lalu membukanya lagi. Kini ia memilih menaruh gelas di dekat tempat cuci piring lalu berjalan menuju ke arah meja makan yang tidak jauh dari dapur. Gadis duduk di sana yang membuat Gavriel memilih mengikutinya dan duduk di kursi yang ada di sebelah Gadis.

"Kalo kamu berpikir aku akan merubah perasaanku ke kamu hanya karena kemungkinan yang tadi kamu katakan, itu salah besar, Dis."

"Kenyataannya pernikahan tidak sesederhana itu, Gav. Menikah itu bukan hanya tentang pasangan itu saja, tapi kalo kamu menikahi seseorang, berarti kamu juga menikahi keluarganya. Mungkin saja di luar negri menikah cukup dengan i love you and you love me, tapi tidak di sini. Ada peran keluarga di dalamnya dan setelahnya tuntutan keluarga tentang hadirnya keturunan itu yang tidak bisa kamu abaikan begitu saja. Kamu akan terus diteror setiap kali bertemu mereka sampai kamu berhasil memiliki keturunan."

"Itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki keluarga utuh, tapi aku enggak. Mamaku sudah menikah lagi, kakakku juga sudah punya kelaurga kecilnya sendiri. Papa ada di luar negri. Aku dengar juga Papa akan segera menikah dengan perempuan yang usianya terpaut jauh lebih muda dari dia. Jadi kamu enggak perlu takut tuntutan keluarga aku ke kamu soal momongan. Menikah bagi aku bukan tentang memiliki keturunan, Dis. Anak itu hanya bonus. Kehadirannya akan menambah  kebahagian serta tanggungjawab kita. Kalo belum diberikan momongan juga tidak perlu dimasalahkan yang penting sudah berusaha semampu kita. Ada Lean juga yang butuh kasih sayang kita setelah orangtuanya pergi meskipun dia tidak bisa diadopsi."

"Tetap saja keluarga kamu akan melihat status aku yang pernah gagal berumahtangga. Bagimanapun juga terkadang stigma sebagai janda itu dinilai negatif bagi sebagian orang. Padahal kalo orang tahu betapa beratnya hidup sebagai seorang janda meskipun aku belum menjalaninya secara langsung saat ini. Apalagi yang punya anak. Sudah jadi orangtua tunggal, harus bekerja ditambah mendidik anak seorang diri. Beratnya bukan main. Jadi aku paham kenapa sekarang banyak janda yang enggan menikah kembali. Karena mereka tidak yakin jika pasangan selanjutnya akan lebih baik serta menerima kehadiran anak mereka dengan tangan terbuka."

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now