Debaran

3.9K 356 73
                                    

Dream Cacther | Debaran

KEN sedang mandi saat aku kembali ke rumahnya setelah mengambil beberapa biji bunga matahari yang ada di seberang sungai, tak jauh dari tempat Ken tinggal. Peri hutan sudah menunggu lama saat aku tiba di perbatasan yang tanahnya ditumbuhi ribuan bunga matahari juga bunga-bunga blue bells—bunga hutan yang memesona dengan warna birunya. Kami para peri menyebutnya dengan bunga surga. Beberapa dari mereka juga bertanya tentang siapa tuanku, apakah dia tampan, apa aku tertarik?

Dia Ken, sangat tampan, tapi menyebalkan. Jadi, aku tidak tertarik. Jawabanku membuat mereka semua tertawa. Memangnya apa yang lucu? Banyak juga peri hutan yang mengaku pernah melihat Ken. Ia sering duduk di bawah pohon yang menghadap langsung ke sungai sambil memakan buah apel. Mereka bilang, Ken  manusia yang sangat menarik. Senyumnya memikat dan ia juga sangat wangi layaknya bunga gardenia.

Aku melangkah pelan menuju jendela, padang rumput yang ada di seberang jalan tampak indah karna dihujani sinar matahari. Sinarnya membias langit dan menciptakan warna kekuningan yang membentang luas di langit biru. Burung-burung pleci berbulu kuning berkicau riang sambil mengitari pohon apel merah yang ada di halaman rumah Ken. Pekarangannya sangat bersih dan rapi. Pohon apel ditanam paling ujung di dekat pagar kayu putih bersilang. Bunga warna-warni tumbuh bersama rerumputan halus. Rumah Ken adalah rumah terakhir jika kau datang dari selatan. Di sebelah rumahnya ada hamparan rumput hijau dan pohon pinus yang menjadi pelindung jika matahari sudah tinggi. Jika mau ke sungai atau ke tepi pantai, biasanya para penduduk akan melewati rumah Ken dan mengikuti jalan setapak yang akan membawa mereka kesana.

“Pagi yang indah, ya?” hembusan nafas itu menyentuh tengkuk leherku. Wanginya membuatku termangu sesaat. Saat aku menoleh, Ken berdiri tepat di belakangku. Sungguh dekat hingga rambutnya yang masih basah menjatuhkan titik-titik air ke bahuku yang bersentuhan dengan bahunya.

“I-iya,” ucapku sembari bergeser menjauh. Ken mengulum senyum lalu merentangkan kedua tangannya. Peri hutan benar, Ken memang wangi. Aku menghirup nafas dalam saat hidungku hanya berjarak dua senti dari tangannya.

Dug!

“Uh,” aku mengaduh saat lengannya menabrak dahiku. Segera aku cemberut ke arahnya, ia terkekeh lalu menarik tangannya. Ia pasti sengaja.

“Hei, matamu…,” ia memiringkan kepalanya, mendekat sedikit, mengamati bola mataku. “Biru langit,” lirihnya terkagum-kagum.

“Semua Dream catcher memiliki warna bola mata yang sama,” kataku bangga.

“Indah. Rasa-rasanya aku ingin terbang kesana,” Ken berkata seperti itu dengan cara yang manis. Ia bersandar di ambang jendela dengan menopang dagu. Aku mengalihkan pandangan ke langit biru.

“Kami berasal dari langit, dan juga akan jatuh dari langit,” kataku.

“Maksudmu?” tanyanya. Aku tersenyum penuh arti tapi tidak menjawab.

“Ken?”

Kami bersama melihat ke sumber suara. Seorang gadis berambut pirang melewati bahu melambai, ia membuka pintu pagar kayu untuk masuk ke pekarangan rumah Ken.

“Caroline,” bisik Ken dengan lengkungan tipis di bibirnya.

“Ken, kau kemana saja?” gadis itu naik ke teras setelah melepaskan alas kakinya. Ia berjalan ke jendela, tempat Ken dan aku bersandar.

Ken menatapnya malu-malu. “Aku tidak kemana-mana. Apa kabar, Caroline?”

“Hmmm,” Caroline merengut, ia sengaja mengembungkan pipinya, jadi ia semakin terlihat imut. “Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” suaranya juga terdengar manja.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang