Terbang

3.5K 351 75
                                    

DREAM CATCHER | Terbang

“Hari ini aku sedang kosong. Maukah kau menemaniku jalan-jalan?” tanya Ken sambil mengacak-acak rambutnya yang setengah basah.

Ini hari keempat dan ntah sudah berapa kali aku melihatnya seperti itu. Maksudku… tanpa baju. Kadang-kadang Ken tidak mengenakan baju atas saat keluar dari kamar mandi. Dan saat-saat seperti itu, ntah kenapa mataku ini menolak kata hatiku yang berbisik ‘jangan lihat’. Aku terus melihatnya, titik-titik air yang perlahan turun  dari dada dan hilang dilekukan pinggangnya yang ramping. Rambut cokelat pirang dan mata kelabu yang seksi. Astaga. Apa yang kupikirkan?

“Jalan-jalan ke mana, tuan?” kataku cepat-cepat menelengkan kepala.

“Ke mana saja. Aku ingin ke sungai. Kau mau ikut?” ia menyampirkan handuk hijau itu ke bahu.

“Kupikir tadi kau mengajakku…”

“Tentu. Rasanya tidak lengkap kalau tidak ada kau.”

Pipiku terasa panas seketika.

“Pipi buah apel. Aku suka. Andai saja boleh digigit,” ucapnya sambil menujuk pipiku.

Dia bilang apa? Ya, ampun, boleh tidak ku jambak rambutnya?

“Sudah berapa banyak wanita yang kau panggil dengan sebutan itu?” Ntah pertanyaan apa yang keluar dari mulutku ini. Sedetik setelahnya, aku merasa malu sendiri.

“Kau yang pertama.”

“Oh,” responku sambil mengusap tengkuk leherku.

“Sudah berapa manusia yang kau… maksudku, apa aku orang pertama yang menjadi tuanmu?” ucapannya tumpang tindih, tapi untungnya aku mengerti.

“Kau yang pertama.”

“Oh, aku sangat beruntung,” Ken tersenyum senang. Dengan sentuhan ringan, ia menepuk puncak kepalaku. “Ayo berangkat, pipi buah apel!” katanya dan bergegas.

Aku dalam bentuk peri saat mengikuti Ken berjalan di jalan setapak yang menurun. Jalannya dipenuhi batu-batu besar. Di kiri-kanannya di penuhi rumput liar dan bunga warna-warni. Kebanyakan warnanya kuning dan merah. Ken tiba-tiba berhenti dan menoleh padaku yang terbang sejajar dengan bahunya.

“Tidak adil. Bisakah kau membuatku terbang?”

Aku mengerjap. Ken mengerucutkan bibirnya dengan alis bertaut. Dengan sekali hentakan kaki di udara, aku merubah bentuk menjadi manusia peri.

“Sekarang bagaimana?” tanyaku setelah menginjak batu yang terasa dingin dan basah.

“Memangnya sihirmu tidak bisa membuat tubuhku jadi kecil? Atau berikan aku sepasang sayap,” ujarnya sambil bersedekap.

Aku mengangkat bahu. “Tidak bisa. Bukan berarti sihir bisa menciptakan semuanya. Kami  punya keterbatasan. Kami  juga tidak boleh memakai sihir sembarangan.”

Ken diam sebentar lalu berkata,”Tapi, waktu itu kau membuat barang-barangku terbang. Ingat? Waktu ada Caroline.”

Aku meringis. “Kau banyak bicara…”

“Kalau ada maunya.” Ken membela diri.

“Ya, baiklah, tuan.”

Satu-satunya alasan kenapa aku menolak membuatnya terbang adalah, aku harus berpegangan tangan dengannya selama terbang.

“Pegang tanganku.” Aku mengulurkan tanganku. Dan yang kutakutkan adalah, sentuhannya.

“Oh.” Ken meletakkan tangan kanannya di telapak tanganku.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang