Sentuhan

3.3K 312 40
                                    

Dream Catcher | Sentuhan

 

AKU beruntung saat Ken bilang ia akan pergi ke kota pagi ini untuk bertemu dengan teman-temannya sesama animator. Katanya, sudah lebih seminggu ia tidak melakukan kunjungan kesana. Meskipun ia mengaku lebih merasa nyaman tinggal di pedesaaan, tapi pekerjaan yang menuntutnya untuk berada disana, mau tak mau memaksanya untuk menginap di kota barang sehari atau dua hari.

Tapi, ia sudah berjanji akan pulang sebelum langit gelap. Aku tidak tahu kenapa dia berjanji dan kenapa aku memegang janjinya. Setidaknya, selama dia tidak disini, di dekatku, aku merasa beruntung. Sungguh.

Aku membuka satu per satu album foto yang berisi gambar-gambar Ken waktu kecil bersama keluarganya. Gambar Ken dengan kedua orang tuanya menjadi pembuka album. Ia terlihat sangat bahagia di gendongan pria berambut cokelat pirang bermata hijau. Itu pasti Ayahnya. Ibunya sangat cantik dengan garis-garis wajah yang menunjukkan jelas sisi keibuannya. Sekarang aku tahu dari mana Ken mewarisi iris mata kelabunya.

Tiga hari sudah kuhabiskan setiap detik hidupku dengan Ken dan banyak yang ku tahu tentang dirinya. Ken mencintai buku. Ia juga suka menulis cerita-cerita fantasi. Ia terlihat tampan saat memakai kacamata berbingkai hitam dengan kedua tangan memegang buku tebal. Seksi. Bola matanya yang kelabu akan bergerak mengikuti barisan huruf-huruf hingga ke lembar berikutnya.

Ken jago masak. Itu sudah jelas. Seperti yang pernah dikatakannya, ia lebih hebat dari pada sihirku.

Omong-omong soal memasak, aku sedang mempersiapkan satu menu yang ku dapat dari buku panduan memasak yang tak sengaja kutemukan di rak bukunya. Karna kemarin ia pernah menertawaiku gara-gara tidak bisa memasak, lihat saja nanti, akan kubuktikan kalau aku juga seorang wanita.

◕◕◕

“Bau apa ini?”

Prang. Srek. Prang.

Aku menutup telinga saat satu persatu mangkuk dan piring terjatuh dari atas meja. Bunyi berisik yang dihasilnya benda-benda itu membuatku dan juga Ken meringis.

“Apa ini?” ia bertanya sambil mengangkat sesuatu berwarna hitam dari piring. “Ini… steak?”

“Ah! Aku…” segera aku merebut potongan daging itu dari tangannya dan membuangnya ke keranjang sampah. Di dalamnya sudah ada potongan yang sama, yang sudah ku buang lebih dulu.

“Kau… memasak?” tanya Ken dengan kedua alis terangkat. Aku ingin menjawab tidak tapi, melihat bahan-bahan masakan berserakan di sekitar kompor dan mangkuk-mangkuk berjatuhan, Ken tidak mungkin percaya kalau aku bilang tidak. Belum lagi pemanggang yang diatasnya masih ada sisa-sisa potongan daging sapi yang gosong.

“Mencoba, lebih tepatnya,” jawabku malu. Bisa kurasakan pipiku terasa panas.

“Huh?” Ken mengerjap, ia memiringkan kepalanya  bersama dengan satu tangannya terangkat. Ia menyentuh pipiku dengan sangat pelan dan berhati-hati.

“Kecap,” katanya dan menekan jempolnya dipipiku.

Sel tak kasat mata seperti apa yang sekarang membuat perutku seperti digelitik. Detik berikutnya, tawa Ken pecah. Ia memukul-mukul perutnya dengan satu tangan sambil melihatku yang menatapnya dengan kening mengerut. Dia mulai lagi.

“Masakanmu gosong? Hahahah! Gosong?” katanya terang-terangan mengejek.

“Iya, iya! Aku tahu aku tidak bisa memasak! Tapi, kan, aku mau mencoba!” ucapku, sangat tersinggung.

Ken menutup mulut dengan satu tangannya. Percuma saja karna aku tahu dia  masih tertawa. Ia membersihkan tumpahan saos di atas meja dengan kain lap lalu menarik kursi, mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang