2

203 22 25
                                    

"sayang, ayo masuk."

wanita itu muncul dari balik pintu yang saya tutup rapat-rapat. ia muncul bersamaan dengan senyum yang tidak pernah hilang dari wajahnya yang absen kerutan.

saya beranjak dari tempat duduk, berjalan masuk seraya membalas senyumnya. ia mengelus punggung saya, seakan mengundang air untuk berkumpul di pelupuk mata saya.

kini, ia jarang menangis. ia jadi lebih sering tersenyum, dan mau tidak mau, saya juga harus sepertinya. bertingkah seolah tidak ada apa-apa dua tahun yang lalu.

ini menyiksa. bukankah seharusnya saya boleh meluapkan semua yang saya pendam selama ini? mengapa pula saya harus menahan semua nyeri yang menggebu?

saya menarik kursi di depan meja makan dan duduk disana. menu hari ini adalah ayam goreng, tumis kangkung, telur dadar-tapi mengapa porsinya banyak sekali?

untuk apa ibu memasak sebanyak ini kalau tidak ada orang lain di rumah selain saya dan dia? tidak mungkin sisanya akan dibuang, kalau selama ini ibu selalu memarahi saya saat saya ketahuan membuang sisa makanan.

"ibu tadi coba resep baru. sudah kamu cicip? enak, nggak?"

saya kaget saat ia tiba-tiba bersuara. ketika saya menoleh, saya mendapatinya berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

saya segera mengambil sepotong ayam dan lekas mengangguk. ini lezat. lebih lezat dari biasanya.

saya melihat senyum di wajahnya saat saya mengutarakan pujian itu. tapi anehnya, saya tidak lega. senyum ibu akhir-akhir ini seperti terpaksa.

saat saya kembali dari mengambil piring untuk makan malam, ibu tidak ada lagi di tempatnya. saya melirik jam, pukul delapan malam. dan tanpa saya sadari, air mata saya jatuh lagi.

tidak ada yang istimewa dengan pukul delapan. hanya saja, sejak kepergian mereka dua tahun yang lalu, ibu selalu masuk ke kamar dan merenung saat pukul delapan malam tiba. entah apa yang ia renungkan, hal ini sudah menjadi ritual baginya.

saat saya hendak menyuapkan nasi ke mulut, sebuah pemikiran tiba-tiba menghadang. apakah ibu sudah makan? apakah setidaknya ada sesuatu yang mengganjal perutnya?

karena khawatir, saya akhirnya membuatkan teh hangat dan mengambil sepotong roti untuk diantarkan ke kamarnya. saya tidak ingin mengganggu kebiasaannya ini tapi ia harus makan. tidak ada lagi yang memperhatikannya selain saya, bahkan dirinya sendiri mengabaikannya.

saya mengetuk pintu kamarnya, tetapi tidak ada jawaban. saya langsung membukanya, dan hasilnya, gelas kaca berisi teh hangat dan piring berisi sepotong roti yang saya genggam erat terjun bebas dari tangan saya.

saya lekas berlari ke kamar yang saya tempati biasanya, mengambil telepon genggam dan menekan nomor panggilan darurat. tangan saya bergetar hebat, membuat saya berulang kali salah menekan nomor.

sesaat setelah tersambung, saya buru-buru menyampaikan maksud saya menelepon mereka.

"tolong saya..."

operator terdengar bingung setelah mendengar kalimat saya. ia menanyakan nama dan alamat saya, tetapi saya mengabaikannya. saya terus menerus meminta tolong, sampai suatu hal menghentikan permintaan tolong saya.

dunia di sekitar saya berubah gelap.

runTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang