7

59 14 11
                                    

saya mengetuk pintu, kemudian masuk setelah orang di dalam sana mempersilahkan. saya tersenyum bahagia, sedangkan orang tersebut mengerutkan keningnya.

"saya sibuk. waktu saya nggak ada buat bicara, apalagi dengan seorang pembunuh."

hati saya serasa pecah dan terserak entah kemana setelah mendengarnya mengatakan itu. saya tidak menyangka kalimat itu yang ia katakan pertama kali saat kami bertemu setelah delapan tahun lamanya.

"kamu ada perlu apa kesini? saya nggak punya waktu buat orang-orang yang bertindak seenaknya."

"ayah.."

ia terdiam. mungkin tidak mengira hari ini akan datang, hari dimana saya mencarinya sebagai seorang ayah.

"ayah tahu kabar ibu?"

ia menatap saya tajam. "istri saya sudah meninggal, sudah lama sekali. untuk apa kamu tanya? ia tenang disana, jangan kamu ganggu istirahatnya."

"ayah tahu kabar ibu saya?"

pertanyaan yang terdengar sama memang, tapi artinya memberikan perbedaan yang sangat jauh untuk kami. arti pertanyaan kedua saya ini bahkan mampu mengubah raut wajah seorang lelaki di hadapan saya.

"untuk apa saya peduli tentang ibumu?"

saya tersentak. balasan yang sangat tidak saya harapkan.

"kalau begitu, untuk apa ayah menikahinya? ayah memperjuangkan perempuan, tapi mengapa ayah menelantarkan wanita ayah sendiri?"

"saya tidak menelantarkannya. saya bahkan mengejarnya. saya tidak pernah melarangmu mencintai wanita saya itu, tapi kamu menyia-nyiakan kesempatan yang saya berikan."

tangan saya mengepal dan pandangan saya buram oleh air.

"ayah... apa wanita yang kita bicarakan adalah wanita yang sama?"

ia menggeleng. "mungkin tidak. sejak ibu dan istri saya meninggal, wanita yang saya miliki hanya satu."

"lalu, apa ibu saya bukan wanita ayah?"

ia mengangkat bahunya. "untuk apa saya menganggap ibumu sebagai wanita saya sedangkan kamu bahkan tidak menganggap wanita saya sebagai seorang wanita? kalau malam itu kamu adalah seorang laki-laki yang punya akal sehat, hari ini kita tidak akan kehilangan siapa-siapa. kita masih punya keluarga, kalau malam itu kamu berpikir dua kali."

saya berjalan gontai keluar dari kantor ayah. pertemuan yang saya kita akan berjalan mulus, nyatanya justru menjadi ajang perdebatan antara kami.

sampai di rumah, kalimat terakhir yang ayah ucapkan masih membayangi otak saya. kalimat yang mengingatkan saya pada kejadian delapan tahun lalu, kejadian yang membuat saya tidak punya siapa-siapa saat ini.

tentang keluarga yang seharusnya masih ada saat ini hanya jika saya berpikir dua kali malam itu.

-----

malam itu, saya baru pulang dari bimbingan belajar saat melihat ibu menangis di ruang tamu. saya mendengar suara berat seorang laki-laki yang menyatakan bahwa ibu tidak berhak untuk melarangnya menjalin kasih dengan anaknya. buru-buru saya lepaskan sepatu kemudian masuk ke sana.

tanpa pikir panjang, saya melayangkan tamparan pada laki-laki yang bentakannya menjadi penyebab tangisan ibu. ibu berteriak memohon agar saya menghentikan apa yang saya lakukan, tapi saya tidak berhenti.

sampai akhirnya gadis itu memukul lengan saya kencang.

saya terkejut. saya sedang membelanya, tapi apa yang ia lakukan? mengapa ia malah memukul saya?

"pergi kamu! kamu baru datang, mengapa kamu ikut campur masalah ini?!"

laki-laki yang saya tampar tersenyum sinis mendengar teriakan yang ditujukan pada saya.

saya tidak tahan untuk membalasnya. "bilang pada lelakimu ini, berhenti menginjak perempuan. mengapa kamu masih membelanya? apa kamu buta? ibu pantas tidak memberikan restu pada kalian karena dia, lelaki pengecut ini, melakukan sesuatu dengan perempuan lain yang tidak seharusnya mereka lakukan sebelum menikah, bahkan kini perempuan itu menanggung hasilnya!"

gadis itu menampar saya. "kamu tahu apa tentang dia?! mengapa kamu membela ibumu yang tidak tahu apapun tentang pacar saya?!"

darah saya naik ke ubun-ubun, tangan saya mengepal, jantung saya berdegup kencang. sudah cukupkah semua itu menggambarkan betapa marahnya saya? ingin rasanya saya melayangkan tamparan pada gadis ini, tetapi itu akan membuktikan bahwa saya bukan laki-laki.

saya tidak berkata apapun setelah itu. saya hanya menatapnya dalam diam seraya membiarkan wajah saya dibasahi air yang turun dari mata saya.

saya mencintainya. saya tidak bisa menyakitinya karena itu akan menyakiti hati saya sendiri. saya sedang memperjuangkannya saat ini dan ia malah menusuk saya. tidakkah ia sadar bahwa seseorang yang ia anggap pacar sedang mempermainkannya?

pacar gadis ini mengambil tasnya kemudian keluar dari rumah saya tanpa pamit. meninggalkan saya bersama dua wanita yang keduanya mulai menitikkan air mata lagi.

saya memeluk ibu erat-erat. ia mengelus punggung saya sembari membisikkan ucapan terima kasih. saya memeluknya erat sekali hingga saya lupa, ada seorang gadis yang menonton kami saat ini.

gadsi itu masih berdiri di posisi yang sama saat saya melepaskan pelukan ibu. ia menangis.

"mengapa kamu membela ibumu?"

"saya bukan membela ibu saja, saya juga membelamu."

"apa kamu yakin ini sebuah pembelaan kalau kamu justru menyakiti saya? mengapa kamu tidak diam saja saat ia menyuarakan pendapatnya tadi? mengapa kamu ikut campur?"

semua orang tahu saya marah jika melihat kondisi saya. saya kacau, saya dikuasai amarah. saya tidak bisa mengendalikan emosi saya dengan baik di situasi seperti ini.

emosi itu menjebak saya ke sebuah situasi yang sulit. situasi dimana saya harus segera menentukan pilihan antara menyakitinya atau menyakiti ibu.

dan pada akhirnya, ibu menang telak. saya berteriak di depan wajah gadis itu, menyuruhnya untuk pergi dan tidak akan menerimanya jika ia berniat kembali. saya mengatakan tidak ada celah sedikitpun untuknya menyelinap ke rumah ini.

detik itu juga, saya merasa berdosa.

runWhere stories live. Discover now