3

113 22 27
                                    

ketika mata saya terbuka, saya langsung mengetahui satu hal; ini bukan rumah saya.

saya bangun dari posisi semula-berbaring-untuk duduk, dan merasakan sesuatu menarik pergelangan tangan saya. kenyataannya, tidak ada yang menarik pergelangan tangan saya, yang ada hanyalah borgol yang dikaitkan dengan salah satu sisi ranjang.

"maaf, kamu untuk sementara tidak diperbolehkan keluar dari rumah sakit. kejadian kemarin pasti membuatmu syok berat. saya turut berduka cita."

lelaki berumur tiga puluh tahunan yang baru saja berjalan masuk ke kamar saya mengatakan hal itu sembari melihat monitor di samping ranjang yang saya duduki.

sesaat setelah mencerna ucapannya, saya terdiam. kejadian kemarin?

"ibu?! mana ibu?!" saya langsung membentaknya tanpa memperdulikan usianya yang jelas lebih tua daripada saya.

ia duduk di sebelah saya. "jangan panik. ada yang mengurusnya."

"saya cuma butuh satu jawaban. ibu saya dimana?!"

ia mengelus kepala saya tapi gagal karena saya berkelit. dari air mukanya, tampak jelas kalau ia terkejut.

"ada yang mengurus ibumu. jangan khawatir. kamu hanya perlu beristirahat sampai pulih."

tanpa rasa bersalah, lelaki berseragam polisi itu pergi meninggalkan ruangan saya, tanpa satupun pertanyaan saya yang ia jawab.

saat ia memegang kenop pintu, saya mendengarnya bergumam.

"dimana akalnya membunuh ibunya sendiri?"

saya kembali berbaring, kemudian menutup mata. memutar kembali kenangan indah tentang keluarga untuk melupakan sejenak tuduhan yang ditujukan pada saya.

kami sederhana, tidak terlalu kaya. ayah saya adalah seorang pegawai kantoran biasa. ia lelaki pertama yang memberikan saya arti sesungguhnya dari jantan.

tunggu. sepertinya ada satu hal yang pernah ayah ajarkan dan saya menganggapnya sangat penting saat itu.

butuh waktu tiga menit untuk saya berpikir kemudian mengacak rambut saya sendiri. setelah saya menemukan yang saya cari, saya praktikkan yang pernah ayah contohkan.

berhasil. borgol itu terlepas. saya sempat melirik nomor yang tertempel di dinding sebelum mendobrak keras pintu kamar rumah sakit ini.

saya berlari sekencang mungkin. usaha mengelabuhi petugas yang mengejar saya dengan cara bersembunyi di balik kardus-entah kardus apa-yang ditumpuk, berhasil dengan sempurna.

tujuan saya selanjutnya sebelum memulai pelarian adalah loker pasien. orang-orang itu pasti menyimpan baju yang saya gunakan tadi malam disana. jika saya berlari menggunakan baju pasien rumah sakit, tentu saya akan lebih mudah dikenali dan pelarian ini tidak akan berjalan mulus.

tapi dugaan saya salah. loker bernomor dua puluh itu kosong.

tidak ada waktu dan pilihan lain. saya harus bertahan kali ini dan sebagai akibatnya, loker bernomor 19 menjadi sasaran saya. beruntung, ada satu buah celana panjang dan kemeja di dalamnya. lebih beruntungnya lagi, ada sandal yang cocok ukurannya dengan kaki saya.

setelah saya lemparkan entah kemana baju pasien itu, kemudian berjalan keluar layaknya orang-orang biasa. sejauh ini belum ada yang curiga penampilan saya. saya juga belum melihat tanda-tanda datangnya manusia-manusia yang tadi ganas memburu saya.

saya berhasil keluar dari rumah sakit ini. aneh rasanya menjejakkan kaki tepat di depan pintu rumah sakit tanpa perasaan segar layaknya orang sehabis memulihkan diri. tangan saya mengepal, dada saya bergemuruh kencang.

ini awal pelarian saya dan saya tidak punya apa-apa.

runWhere stories live. Discover now