5

66 18 9
                                    

sebelum menemui ayah, saya pergi ke tempat yang biasa saya kunjungi bersama keluarga saya, dulu. tempat ini adalah sebuah cafe, ibu yang mengenalkannya pada kami. suasananya nyaman, saya bahkan pernah ketiduran disini. konyol memang.

saya tidak masuk, hanya duduk di luar sembari menatap sibuknya para pelayan lalu-lalang di dalam sana. saya tersenyum saat melihat anak berumur sepuluh tahunan tertawa bersama orangtuanya. saya pernah seperti itu, dulu. bersama ayah, ibu, dan kamu, saya membagi keluh kesah.

tentang keluh kesah, saya tiba-tiba teringat bagaimana ibu mendatangi kamar saya pada suatu hari. menanyakan apa penyebab saya mengurung diri di kamar seharian. saya hanya menggeleng, sebagai tanda enggan menjawab pertanyaan itu.

lalu apakah beliau marah? tidak. wanita yang saya temui pertama kali di dunia itu hanya tersenyum. ia memeluk saya erat sekali hingga bahunya bergetar. bingo, ia menangis.

ia menangis lama sekali sampai baju saya basah karena air matanya. tangan saya digenggamnya erat tanpa mengatakan apapun lewat mulutnya. ia membiarkan matanya yang berbicara pada mata saya.

netranya seperti berkata, "kamu tidak harus cerita apapun. tapi ibu disini, ayah disini, dia disini, kami siap jadi pilar terkuatmu ketika kamu akan runtuh ataupun diruntuhkan."

seseorang menepuk punggung saya ketika saya sedang termenung. pemuda itu adalah pemilik cafe ini. saya mengenalinya karena wajahnya tidak menua.

ia menanyakan kabar keluarga saya dan saya hanya diam. apa yang mau saya jawab? tahu dimana keluarga saya saja tidak. ia bingung, kemudian bertanya dengan hati-hati apa saya kabur dari rumah. saya menggeleng, hanya menjawab, "saya memang tidak tahu kabar mereka."

tiba-tiba, ia menawarkan pekerjaan pada saya. menjadi barista cafe baru miliknya yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat dimana kami duduk. saya tergiur tetapi ketika teringat tujuan saya melakukan pelarian ini, saya menggeleng.

ia bilang tidak usah terburu-buru mengambil keputusan. ada waktu 3 hari yang ia berikan pada saya untuk berpikir matang-matang. pekerjaan ini jelas menguntungkan. saya diberikan tempat untuk tinggal bersama pegawai lain, gaji yang cukup untuk sehari-hari dan saya tidak harus mengeluarkan sepeserpun untuk mendaftar.

saya mengambil brosur yang ia berikan kemudian lekas pergi. ingin rasanya bercerita pada ibu dan ayah bahwa saya ditawari pekerjaan. saya bisa hidup. saya tidak harus bergantung pada orang lain.

kejadian ini sekali lagi mengingatkan saya pada ibu, pada hari dimana sebuah perusahaan menerima lamaran pekerjaannya. wajahnya berseri. ia bahkan memeluk ayah begitu erat seakan mereka baru memenangkan kuis berhadiah uang jutaan rupiah.

hari itu, ayah menitikkan air mata. ibu, wanita yang ayah cintai, pada hari itu mengirimkan berjuta rasa bahagia ke orang di sekitarnya. ayah membalas pelukannya erat. saya ingat bagaimana kamu masuk ke tengah pelukan mereka dan saya menyusulmu.

tanpa perlu berpikir lagi, saya berbalik arah, masuk ke cafe tadi dan langsung menemui pemiliknya. saya mengatakan saya bersedia bergabung bersama cafenya. ia tersenyum, mengatakan saya sudah mulai bisa bekerja dua hari lagi.

ayah, ibu, dan kamu, sebentar ya. saya akan mengejar cita-cita saya dulu. jangan kemana-mana, saya akan menemui kalian segera setelah saya mengumpulkan uang untuk mempermudah saya menemui kalian.

runTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang