𝒞𝒽𝒶𝓅𝓉𝑒𝓇 𝟤 - 𝐹𝒶𝓂𝒾𝓁𝓎

63K 5.9K 49
                                    

"Nona, Grand Duke sudah menunggu di dalam." Seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahku berdiri di depan kereta berlambang singa. Itu adalah simbol keluarga Winterson.

"Ah, Paman Murret... apa kabar?" Aku tersenyum padanya sembari menaiki kereta kuda yang besarnya hampir sama dengan milik Raja itu.

"Sangat baik, Nona." Pria berambut abu-abu itu juga masih tampak bugar. Sudah lama aku tidak melihatnya, terakhir dua tahun yang lalu saat aku meninggalkan rumah. Dia meraih tanganku dan membantuku naik.

Tak lama setelahnya, kereta itu bergerak meninggalkan istana. Walaupun agak risau, tapi aku yakin Derich akan membiarkanku pergi. Aku duduk di depan ayahku, pria itu tidak pernah lepas menatapku. Apa dia sesenang itu?

"Ayah bisa melepas topeng sekarang." Aku membentang senyum di wajahku.

"Apa ayah tidak mendengar gosip baru-baru ini?" Pria itu mendongak setelah melepas topeng hitam yang menutupi setengah wajahnya.

"Tentang Putri Briana menyukai pria yang jauh lebih tua dan dia sedang mendekatimu..." aku sengaja memelankan suaraku. Aku berharap itu hanyalah gosip belaka, aku juga sudah mengingatkannya pada wanita itu.

Terlihat ekspresi heran di wajah ayahku. Beberapa detik baru dia menjawab, "Benarkah? Aku tidak memikirkan sampai ke sana."

"Jadi jagalah jarak dengannya, tetaplah bersama ibu." Aku tersenyum lagi padanya. Ini adalah suatu nasihat dari seorang anak. Walaupun bukan anak kandungnya, aku sangat menyayanginya. Pria di depanku itu adalah ayah terbaik yang pernah ada.

"Ayah tidak mungkin berpaling dari ibumu, kau tahu itu." Dia tersenyum sinis padaku kali ini. Aku mengangguk, aku tahu persis hal itu.

"Tentu saja. Aku hanya tidak suka ada gosip tentang keluarga kita. Cukup aku saja."

"Kau tidak perlu terus-terusan mendengarnya. Apa selama ini kau baik-baik saja di istana?" Tiba-tiba dia mengerutkan dahinya. Dia ayah yang perhatian, tapi tidak bisa menunjukkannya secara terang-terangan.

"Seperti yang Ayah lihat. Kurasa... aku akan keluar dari istana selamanya." Aku mengutarakannya sambil melihat ke arah kuar jendela. Baru kali ini aku menceritakan hak yang pribadi pada Ayah. Aku tidak ingin membuatnya cemas, tapi aku butuh tanggapan dadi seorang pria.

Andai Luca ada di sini, mungkin aku sudah menceritakan semuanya padanya. Tentang sikap Derich yang semakin lama semakin berubah, serta kebiasaannya dengan wanita dan kecuekannya. Tidak. Aku tidak mungkin mengatakan itu semua pada ayahku. Bisa-bisa dia membunuh pria berambut merah itu. Dia hanya tahu kalau petinggi kerajaan menolak menjadikanku Putri Mahkota karena bukan anak kandung dari Grand Duke. Tidak mungkin kan dia membunuh mereka semua.

"Itu lebih baik. Aku tidak suka melihatmu tertekan di sana." Dia seolah berkata sudah kubilang dari dulu untuk tidak pergi ke istana. Entah kenapa aku ingin menertawai diriku sendiri.

"Aku akan membuat surat kalau kau akan menetap di Westla." Aku langsung mengangguk mantap. Rupanya dia tahu bagaimana menyelamatkanku. Dia pria terbaik yang pernah ada di hidupku.

***

Dini hari aku baru sampai di Westla. Kota yang berada di barat Barbaria itu sangat kurindukan. Apalagi rumah besar milik keluarga angkatku itu. Dinding putih yang klasik dan pintu kaca dimana-mana. Aku turun dari kereta dan menatap rumah itu sambil tersenyum. Tadinya aku tertidur, tapi begitu sampai mataku jadi terang lagi.

Aku melangkahkan kakiku menuju pintu utama. Tentu saja hal pertama yang kulakukan adalah menemui ibuku. Grand Duchess Winterson.

"Astaga, Nona!" Seorang pelayan meneriakiku dan memelukku. Dia adalah Barbara, yang paling senior di rumah ini.

"Apa Bibi baik-baik saja?" Aku melepaskan pelukannya sambil tersenyum. Pelayan lain langsung berhambur ke arahku. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Begitu banyak perubahan dari rumah itu.

"Apakah Ibu masih tidur?"

"Sepertinya, Beliau di kamarnya." Kata Milli. Dia adalah pelayan setia ibuku yang sudah kuanggap sebagai ibu asuhku.

"Ikutlah denganku." Rupanya ayahku masih berada di belakangku. Aku langsung mengangguk saat semua pelayan menunduk dan mengucapkan selamat datang pada ayahku.

Begitu memasuki kamar paling besar di rumah itu, aku langsung mengatup mulutku rapat-rapat. Ayah langsung ke ruang kerjanya setelah mengantarku ke kamarnya. Aku melihat wanita cantik berambut hitam sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Ibuku. Aku lega karena keadaannya jauh dari perkiraanku. Dia masih tampak sehat dan segar di usianya yang tidak jauh dari Ayah.

Perlahan aku memegang tangannya dan meletakkan kepalaku di samping tangan itu. Lutut dan gaunku menyentuh lantai yang hangat di sana. Ini adalah tempat paling nyaman saat aku sedang bersedih. Tunggu, aku tidak sedih. Aku yang ingin kelur dari istana buka diusir, kenapa aku jadi sedih?

Tiba-tiba tangan yang kupegang itu bergerak sedikit. Aku langsung mendongakkan kepalaku melihat wajah yang tak jauh dariku. Apa ibuku terbangun karena aku? Padahal aku sudah melakukannya sepelan mungkin.

Matanya pelan-pelan terbuka. "Leon?" Katanya dengan suara sangat lembut, tapi kemudian dia membuka lebar matanya dan membulatkan bibirnya. "Ilsa?!"

Aku tidak bisa menahan senyumku saat itu dan memeluknya sesegera mungkin. "Mama, aku merindukanmu..." aku berusaha menahan air mataku yang sebentar lagi jatuh.

"Astaga, aku yang paling merindukanmu." Dia memelukku dengan erat, bahkan sampai mencium  pipiku.

"Apa Mama baik-baik saja?" Kataku setelah wajahnya menjauh dariku. Dia terus tersenyum menatapku.

"Tidak pernah sebaik ini. Aku senang melihatnu di sini." Wanita itu mengubah posisi tubuhnya dan duduk di tempat tidur. Aku pun duduk di sebelahnya.

"Tenang saja, mulai sekarang aku akan selalu di sini." Tak lama wajahnya berubah, dia pasti penasaran kenapa aku mengatakan itu.

"Aku akan segera keluar dari istana. Itu bukan tempatku." Aku masih tersenyum padanya.

"Ada apa? Yang Mulia sudah memilih calonnya?" Ibuku menyapu pipiku dengan lembut. Aku memejam mata sejenak, lalu menghela nafas.

"Tidak. Aku... tidak lagi mencintainya." Aku tahu itu adalah suatu kebohongan. Aku sangat mencintai Derich, tapi aku lelah melakukan sendirian selama enam tahun ini. "Lagipula dia seorang Raja sekarang."

"Katakan padaku jika kau menginginkan sesuatu..." Ibu langsung memelukku lagi, kali ini sebuah pelukan untuk menghiburku. Aku ingin menangis tapi sudah terlalu lelah untuk melakukannya. Kehangatan Ibu membuatku jauh lebih tenang sekarang.

"Istirahatlah." Katanya lagi.

***

Senang melihatmu lagi - Grand Duchess Winterson

Senang melihatmu lagi - Grand Duchess Winterson

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Stop Being a Villain (REPOST)Where stories live. Discover now