𝒞𝒽𝒶𝓅𝓉𝑒𝓇 𝟨 - 𝒩𝑒𝑔𝑜𝓉𝒾𝒶𝓉𝒾𝑜𝓃

53.1K 5.4K 22
                                    



Beberapa jam setelah Hera mengantar dessert dan minuman untukku, Derich tidak juga mendatangiku. Aku berharap hari ini masalah selesai dan besok aku akan kembali ke Westla. Apa dia masih di ruang kerjanya? Tenggelam dalam tumpukan kertas? Dari tadi aku duduk di sofa sambil menatap makanan manis yang masih utuh di meja.

Aku langsung mendongak begitu mendengar suara pintu terbuka. Pasti Derich. Siapa lagi yang berani membuka pintu kamarku tanpa mengetuknya terlebih dulu.  Rambut merah miliknya muncul duluan. Aku hampir saja menahan nafasku saat kamarku tiba-tiba dipenuhi dengan aroma wewangian. Apa pria itu baru saja mandi? Tidak, kurasa dia memakai wewangian yang berlebihan.

"Yang Mulia, semoga keberkahan selalu bersama Anda."

Aku berdiri untuk menyambut pria yang mengenakan kemeja putih polos dan celana yang berwarna sama. Kali ini tanpa menunduk padanya. Wajahnya tampak lelah dengan rambut setengah basah yang sedikit acak-acakan. Apa dia baru selesai mengerjakan sesuatu? Aku tiba-tiba mencemaskannya. Tidak. Bukan saatnya untuk itu.

"Kau tidak makan?" Tanyanya dengan ekspresi aneh. Dia terlihat heran melihat makanan di atas meja.

"Saya tidak lapar." Aku menjawab dengan santai, tapi tidak menampilkan sebuah senyum untuknya.

"Baiklah..." Dia lalu mendekatiku.

"Yang Mulia, saya dengar Anda tidak membawa wanita beberapa malam ini." Tanpa basa-basi aku langsung menanyakannya.

Dia menyapu rambutnya dengan beberapa jarinya dan menaikkan sudut bibirnya, "Kenapa?"

"Apa yang terjadi? Tolong jangan mempersulit saya dengan-"

"Kau yang mempersulitku." Tiba-tiba tangannya menangkap tubuhku dan dia mendekatkanku padanya. Cepat sekali dia melakukannya sampai jantungku berdetak dengan kencang dibuatnya.

"Jadi, apa yang kau inginkan?" Benar saja, dia menanyakannya lagi. Tangannya menyisir rambut depanku dan mengesampingkannya.

"Saya hanya ingin putus..." aku mengatakannya dengan jelas dan sepelan mungkin. Apa masih kurang jelas? Dia menatapku dengan sorotan mata yang begitu dalam.

"Saya mohon jangan seperti ini. Lakukanlah hal yang biasa Anda laku-"

Dia lalu menangkap bibirku dengan cepat. Sebuah ciuman yang biasa kami lakukan sebelumnya. Tunggu, bukan melakukan ini maksudku. Aku mendorong tubuhnya agak kasar.

"Apa ada pria yang mendekatimu?"

Wajahnya sedikit menjauh dan aku bisa melihat pancaran api dari matanya. Kenapa tiba-tiba dia menanyakannya? Tunggu, itu dia. Pria lain. Itu bisa kujadikan sebuah alasan agar putus dengannya. Aku sengaja tidak langsung menjawabnya. Saat aku sedang memikirkan pria mana yang akan kusebutkan, Derich menciumku sekali lagi. Tangannya dengan agak kasar mengikat erat tubuhku. Kali ini dia menciumku seperti seorang pria yang sudah lama tidak bertemu dengan kekasihnya. Aku berusaha mendorongnya lagi, tapi dia menguatkan cengkeramannya padaku hingga aku terbaring di sofa.

"Ahh..."

Aku meringis saat dia mulai memanjat tubuhku. Pria itu menurunkan kerah gaunku seenaknya dan menciumi leher hingga bahuku. Dia juga sempat menjilat tengkukku sebelum membuat sebuah tanda di sana.

Pinggulku otomatis terangkat karena sentuhannya yang tidak terduga itu. Kenapa dia selalu berhasil membuatku tidak berdaya seperti ini? Tanpa sadar aku memejamkan mataku. Sial. Aku tidak boleh melakukannya lagi dengannya.

"Yang... Mulia..."

Sayangnya, dia tidak mendengarkan panggilanku, masih asyik menyerap semua aroma tubuhku. Bahkan dia tampak membenamkan wajahnya di leherku. Aku tidak boleh menikmatinya. "Der!" seruku lagi. Aku sengaja menaikkan nada suaraku kali ini. Dia langsung mengangkat wajahnya dan menghentikan semua gerakannya. Hanya aku yang bisa memanggilnya seperti itu. Dia tahu itu nama panggilannya dariku. Wajahnya tampak seperti anak anjing yang penurut. Kenapa dia memasang ekspresi sepolos itu?

Aku mendorong tubuhnya pelan, lalu duduk di depannya sambil memperbaiki gaunku. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka mulut lagi, "Baiklah, aku akan memberimu waktu sampai kau bertunangan dengan Lady Ronan. Setelah itu, biarkan aku pergi."

Aku sempat menyesal mengatakannya pada pria itu karena tiba-tiba dia menunjukkan giginya yang rapi di balik senyum liciknya. Dia sedang mempermainkanku? Tapi lihat saja, aku sangat yakin pertunangan itu tidak bisa dielakkan lagi.

"Wanita itu... kenapa aku harus menikahinya?" Dia kemudian menyeringai, "Aku tidak suka wanita berambut pirang."

"Kau sekarang adalah Raja. Jika kau ingin mempertahankan gelar itu, kau harus menikahinya. Apa kau masih tidak sadar?" Aku mulai berbicara non formal padanya. Bagaimana tidak, aku geram dengan sikapnya yang masih seperti anak kecil itu.

"Aku tidak butuh dia. Aku Rajanya, jadi aku yang memilih. Tanpa Ratu pun aku tetap seorang Raja."

Wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya.  Ya, dia tidak membutuhkan seseorang di sampingnya. Dia punya aura seorang Raja. Bagaimana dia berbicara dan menatap seseorang. Dia tidak berteriak, tapi dia bisa membuat orang bertekuk lutut di hadapannya.

"Ingat, katakan padaku jika kau menginginkan sesuatu. Tentu saja selain kata itu..." dia mengelap pipiku dengan punggung tangannya. Selembut itu dia melakukannya hingga akhirnya aku memalingkan wajahku darinya.

"Bolehkah aku bertanya satu hal? Kau harus menjawabnya dengan jujur."

"Jangan sebutkan kata itu lagi." Dia langsung menjauhkan tangannya dari wajahku.

"Ya, ini yang lain." Sahutku dengan cepat, "Apa kau mencintaiku?" Aku sangat berharap dia menjawab tidak. Dengan begitu aku bisa tenang.

"Tentu saja." Dia sempat terkekeh, tapi lalu keningnya sedikit mengkerut saat mengatakannya. Tidak. Aku tahu dia tidak pernah benar-benar mencintaiku.

"Apa kau benar-benar masih mencintaiku?" tanyaku lagi, "Tidak, kan?"

Dia lalu terdiam dan bingung bagaimana mengatur wajahnya. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Benar dugaanku. Selama ini aku dianggap apa? Untung saja rasa cintaku sudah terkikis seiring berjalannya waktu.

"Itu bukan sesuatu yang perlu ditanyakan. Kau sudah tahu jawabannya." Anehnya kemudian dia memasang ekspresi kecewa di depanku. Apa maksudnya? Wajar aku menanyakannya, dia tidak mengiyakan saat aku minta putus baik-baik dan tidak juga memastikan bagaimana kedepannya hubungan ini.

Apa dia mencintaiku sampai tidak mau aku meninggalkannya? Jika iya, mau di kemanakan wanita-wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya? Jadi, jawabannya adalah tidak.

Tak lama kemudian dia berdiri dan merapikan kemejanya. Sebentar lagi dia pasti akan keluar dari kamarku. Dia selalu kembali ke kamarnya setelah berhubungan denganku. Kami tidak pernah terbangun di tempat tidur yang sama.

Ironisnya, dia mengundang wanita lain ke kamarnya. Kukira dia melakukannya di ruang kerjanya yang luas. Selama enam tahun dan aku baru mengetahuinya belum lama ini. Dia adalah pria brengs*k yang pernah kutemui.

Kurasa aku harus berkencan dengan pria lain agar dia benar-benar memutuskan hubungan ini.

***

Ilsa

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.

Ilsa

Stop Being a Villain (REPOST)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora