𝒞𝒽𝒶𝓅𝓉𝑒𝓇 𝟥 - 𝐹𝓁𝑜𝓌𝑒𝓇

58.1K 5.4K 47
                                    



Setelah tiga hari damai di rumah, sebuah buket bunga besar dikirim atas namaku. Buket bunga lily dan freesia yang berwarna kalem. Aku tahu siapa pengirimnya. Derich. Dia tahu bunga kesukaanku. Aku lupa kapan terakhir dia memberikannya tanpa kuminta.

"Ilsa!!" Tapi yang membuatku senang adalah orang yang menerima bunga itu. Dia adalah Erika, satu-satunya sahabat perempuanku. Erika Murret, putri pertama dari Paman Rudoff dan Nyonya Berry. Sama seperti orang tuanya, dia sudah seperti asistenku di rumah ini, tapi aku menganggapnya sebagai sahabat.

Wanita berambut abu-abu itu berlari untuk memelukku. Dia sepertinya lupa sedang memegangi buket yang baru diterimanya dari seorang kurir istana. "Astaga, ini buket untukmu."

Dia melepaskan pelukannya dan menyodorkan buket itu, lalu memelukku lagi, "Astaga, kenapa kau tidak datang lebih cepat?! Aku langsung ke sini begitu tahu kau pulang." Aku membalas senyumnya, tapi begitu melihat bunga yang kupegang, senyum itu lenyap dalam seketika.

"Kau sedang marah pada Yang Mulia?" Dia mulai berbisik padaku. Aku menggeleng, lalu menatapnya.

"Aku putus dengannya."

"Apa?!" Kali ini dia tidak berbisik lagi. Untungnya tidak ada yang mendengarkan kami saat itu. "Kau sudah gila? Dia sekarang seorang Raja."

"Aku tahu. Semua orang juga tahu, tapi aku... bosan dengannya." Aku memberikan bunga itu padanya lagi, lalu berjalan keluar rumah dan dia mengikutiku. Kami selalu berjalan-jalan di taman jika hari cerah.

"Tidak. Aku tahu kau tidak pernah bosan dengannya." Dia terlihat tidak mempercayai kata-kataku.

"Sudah enam tahun, apa kau pikir aku tidak akan bosan?"

"Ibuku sudah menikah berapa dua puluh tahun, tapi dia tidak bosan. Apa... kau punya pria lain?" Dia tiba-tiba menghalangi jalanku. Aku hampir saja terjatuh karena menghindarinya.

"Bukan... masalahnya memang hanya itu. Aku lebih suka hidup bebas seperti ini."

"Tapi dulu kau sangat senang saat pria itu menjemputmu ke istana." Dia mengernyitkan dahinya.

"Kau benar... hati seseorang bisa berubah kapanpun. Itulah yang terjadi padaku." Baru saja aku mau melanjutkan langkahku, wanita polos itu memelukku lagi. Kenapa jadi dia yang sangat sedih?

"Kalau begitu jangan pergi ke sana lagi. Apa kau tahu aku sangat kesepian? Tidak ada Luca, tidak juga kau!"

Aku tertawa mendengarnya saat itu. Dia tidak berubah, selalu bertingkah seperti adikku. Terkadang bijak, tapi kadang juga manja.

"Tapi, apa kau benar baik-baik saja jika Yang Mulia menikah dengan wanita lain?" Tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan memegangi bahuku.

Aku kembali tersenyum, "Tentu saja, kalau tidak, aku tidak akan putus dengannya." Dia pun membalas senyumku. Kuharap dia mempercayaiku kali ini. Aku memang sudah mengatakan putus darinya, tapi dia belum mengatakan apa-apa. Kurasa kami sudah benar-benar tidak dalam hubungan itu lagi. Aku melangkahkan kakiku lagi menuju spot favoritku. Balkon di tengah taman. Walau hanya duduk menikmati angin di sana, itu sangat menenangkan.

"Tunggu, ada kotak di dalamnya!" Tiba-tiba wanita yang berada di sampingku itu setengah berteriak. Aku meliriknya dan melihatnya mengambil sebuah kotak kecil dari dalam buket itu. Tidak. Jangan katakan kalau itu...

"Anting-anting! Astaga, cantik sekali..." benar dugaanku. Sebuah perhiasan. Dan yang paling membuatku kesal adalah warna liontin itu. Merah, itu adalah batu ruby. Derich tahu aku menyukainya karena warnanyq hampir senada dengan warna mataku. Tapi kenapa dia memberikanku sekarang? Apakah tidak jelas aku mengatakan putus dengannya? Kupikir dia mendengarkanku kali ini.

Stop Being a Villain (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang