4. Behind Their Romantic Scene

2.4K 338 51
                                    

Dia; hancur yang kauleburkan. —Hollow

♠♠♠

Pukul tujuh malam tugas kelompok biologi baru saja usai. Sehabis turun dari boncengan motor ojek online, Adelicia membuka gerbang hitam yang membalut sempurna rumah sederhana di hadapan.

Sadar ada sebuah mobil Mercedes Benz C-class selenite gray terparkir, senyumnya merekah seketika, menyadari siapa sosok yang datang.

Langkah riang membawa Cia cepat-cepat melewati taman terawat sebab tangan ibunya. Namun, ketika hendak membuka pintu utama, pergerakan gadis itu terhenti di udara, indera pendengarannya menangkap suara ribut-ribut yang diidentifikasi sebagai pertengkaran.

"Cia akan lebih terurus kalau ikut aku!"

"Buktinya apa?! Dia lebih baik ikut saya!"

"Apa yang diharapkan dari kamu? Dia akan kekurangan afeksi. Kamu terlalu gila kerja, Lukas!!"

"Dan kamu tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan finansialnya! Kamu cuma seorang pengurus florist tidak laku! Kamu tetap mengandalkan uang dari saya yang seharusnya seratus persen untuk kebutuhan anak saya!"

"Dia anakku!"

Tangan kanan Cia yang semula mematung di udara mulai bergetar. Tujuh belas tahun hidup di bumi, dia tidak pernah mendengar kedua orang tuanya beradu pendapat segila ini: berteriak kesetanan, menjerit tak karuan, hingga membanting dan memecahkan barang-barang.

Sebelas tahun lalu, ketika dirinya baru memasuki sekolah dasar, Cia dipaksa menerima kalau dua minggu pertama dia akan tinggal di rumah ayahnya kemudian dua minggu kedua akan tinggal di rumah ibunya. Pun begitu ketika hari raya keagamaan, ketika Idul Fitri dia akan berkunjung ke rumah orang tua sang ibu, baru ketika Natal ia mengunjungi kakek dan nenek dari sang ayah.

"And I think everything is okay until I die."

Semenjak memasuki dunia putih-biru, Cia mulai menyadari ada sesuatu tidak beres dengan rumah tangga kedua orang tuanya. Terlebih, beberapa orang tua para teman selalu memberinya atensi lebih karena merasa kasihan-sungguh, Cia tidak suka diperlakukan demikian.

"Hak asuh Cia jatuh ke tanganku, Lukas!"

"Siapa peduli keputusan pengadilan jika darah lebih kental?!"

"Berhenti hidup di dalam ekspektasimu, tugasmu hanya mengirim uang untuk kebutuhan Cia dan menunggunya datang ke rumahmu di awal bulan."

"Dan kamu jangan mengambil uang itu sepeser pun untuk kepentinganmu!"

Hingga akhirnya kata cerai yang sering muncul di sinetron dan dulu tidak ia mengerti maknanya, mulai mengganggu pikiran Cia.

Tidak tahan, dia yang saat itu masih duduk di kelas tujuh bertanya kepada sang ayah. Yang penting kita bertiga masih bisa berkumpul, Cia, jawab ayahnya beberapa tahun silam. Jawaban yang tidak memuaskan. Namun, benar-benar terlaksana. Sejak saat itu hingga minggu lalu, dia sering pergi berjalan-jalan dengan kedua orang tua, bercanda dan tertawa seolah tidak mengenal kata pisah.

Mendorong pintu utama setelah menguatkan hatinya, Cia tidak bisa mendengar adanya keributan lagi. Mereka membisu, bergerak merapikan penampilan, dan mengulas senyuman untuk menyambut buah cinta.

Padahal, sisa-sisa pertengkaran seperti pecahan guci keramik tercecer di lantai dan jejak air mata mengalir di pipi ibunya tampak jelas.

"Aku pulang," salam Cia, berlagak seolah tidak mendengar serta melihat apa pun. "Papa kapan dateng? Katanya masih di italy."

HOLLOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang