7. Butterflies: Ceysa's Puzzle

2.2K 300 63
                                    

I wonder what would happen if I die
I hope all of my friend get drunk and high
Would it be too hard to say goodbye
I hope that is enough to make you cry
Maybe that day you won't hate me
—Hate me, Miley Cyrus

♠♠♠

Hingga detik ini, bayang-bayang rasa bersalah selalu menghantam hati Ceysa. Jujur saja, dia memang pelaku di balik segala kerumitan ini.

Janjinya dulu akan melepas Alden begitu pemuda tersebut berpacaran dengan Cia, tetapi ternyata tidak bisa dilakukan hingga detik ini.

Ceysa terlalu takut memulai, karena dirinya enggan menuai akhir menyesakkan. Sementara kisah antara dia dan Alden, persentase menemui bahagia di akhir diperkirakan hanya lima persen, itu pun jika salah satu di antara mereka bersedia menerima, mengalah, dan meninggalkan.

"Lo temen deketnya Alden, 'kan?"

"Lumayan deket. Why?"

"Bisa tolongin gue?"

Melibatkan Cia bukan tanpa alasan, melainkan si penggemar rahasia yang pernah dia pergoki saat meletakkan cokelat bermerek ternama di loker Alden itu memohon bantuan kepadanya.tepat setelah acara pekan bahasa tahun lalu.

"Gue beneran suka sama temen lo, bantuin gue, pleaseeee."

"Gue harus apa, Cia? Perasaan gak bisa dipaksa."

"Tapi bisa dibiasain, 'kan?"

Tak tega, Ceysa menyanggupi, tetapi malah berhadiah kerumitan seperti ini.

"Ya … I've done what she wants, but now she calls me perebut." Ceysa mengulas senyuman miris. "Salah siapa?"

Duduk di depan kelasnya—11 MIPA 1—sembari menyenandungkan chorus dari lagu Hate Me milik Miley Cyrus, Ceysa menunggu kehadiran Alden dengan sabar.

Pulang bersama sebagai ganti karena telah meminta lelaki itu menghabiskan sandwich tadi pagi, kira-kira demikianlah alasannya.

"Ceysa!"

Pemilik nama menoleh, berniat mengembangkan senyuman, tetapi ekspresi khawatir karena Alden berlarian tercetak jelas. "Hati-hati, licin!" serunya.

"Iy—" Ucap iya tanda kesanggupan yang hendak terlontar diinterupsi dengan tawa Alden sendiri, saat ia hendak terjatuh, tetapi beruntung sigap menahan bobot tubuh dengan berpegangan pada dinding biru.

Ceysa bergerak menghampiri. "Dibilang juga apa, jangan kayak anak kecil, deh!" marahnya.

"Khawatir ya sama gue?" goda Alden.

Bola mata Cyan dirotasikan tanpa sengaja. Gadis itu menghela napas panjang, menormalkan ekspresi wajah lalu berjalan mendahului Alden tanpa memberi jawaban.

"Gak usah gengsi, Sayang." Alden terkekeh geli, menyusul langkah Ceysa, menyamai dan menatap wajah yang menurutnya memiliki proporsi sempurna. "Lo cantik banget, kira-kira mau gak sama gue yang biasa aja?"

"Gak usah manggil sayang."

Alden menarik senyuman tipis, diam sejenak menunggu pertanyaannya dijawab. Namun, Ceysa tetap terdiam dengan raut datar, menghadirkan kecewa di dada berkedok tawa menggema sepenjuru koridor sunyi kelas 11 MIPA.

"Jangan ketawa." Ceysa memeringati, menunjukkan pendar kesal yang segera dilenyapkan demi image yang dibangun sejak awal memasuki sekolah ini.

"Ekspresi lo lucu pas gue panggil sayang. Dulu katanya bosen, tapi tuh pipi napa masih merah aja?" Alden menggoda. Padahal, dia tahu rona kemerahan sama sekali tidak menghiasi wajah cantik Ceysa.

HOLLOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang