9. Dibalik sebuah alasan (1)

1.5K 75 5
                                    

Menikah. Satu kata yang masih sulit untuk ku pahami. Aku tahu bahwa resiko dari pekerjaanku memang akan menimbulkan fitnah.

Tapi mau bagaimana lagi? Aku butuh uang, sedangkan Pak Harun butuh seseorang yang bisa ia percaya untuk mengurus rumahnya.

Pasrah saja. Mungkin ini memang sudah menjadi jalan yang terbaik.

"Baiklah. Saya bersedia menikah dengan Pak Harun".

Hening. Kini semua orang menatapku. Seusai menghembuskan napas panjang, aku akhirnya menatap mereka satu persatu.

"Semua orang ingin aku menikah kan? Ya sudah. Sekarang aku ikut mau kalian. Kenapa jadi seperti kelihatan aneh begitu?"

"Mba Pita yakin?"

Aku tersenyum. Arman masih menunjukkan ekspresi tidak percaya setelah mengutarakan pertanyaan yang sudah pasti sama dengan semua yang berada di sini.

"Yakin". Jawabku dengan tegas.

"Tapi menikah bukan untuk bercerai mba".

Aku beralih menatap Arkan. Wajahnya masih terlihat terkejut. Lagi - lagi senyuman ku berikan sebagai jawaban tanpa kata.

"Mba Pita sudah setuju. Tunggu apalagi? Kalau bisa, nikahkan saja sekarang. Lalu Mba Pita pergi dan jangan menginjakkan kaki lagi di kampung kami".

Lagi - lagi Pak Andi mengusirku. Sebenarnya aku tahu alasan mereka bersikukuh memfitnahku seperti ini. Bukan semata - mata hanya karena kehadiran Mba Rani dan Pak RT di kediaman Pak Harun saat itu.

Tapi untuk saat ini, biar ku simpan saja sendiri semua rencana jahat mereka. Aku ingin tahu seberapa jauh mereka nanti akan bertindak.

"Pernikahan akan diadakan lusa. Walau secara sederhana, semua tetap butuh persiapan. Pita, kita akan menikah secara agama dulu. Kamu tidak keberatan kan?"

"Tidak sama sekali. Asalkan SAH. Kan itu yang terpenting. Benar kan Pak Andi?"

Pak Andi terlihat sedikit salah tingkah. Aku semakin tersenyum melihat dia yang terlihat ingin membalas namun tidak bisa melanjutkan ucapanku yang tepat sasaran.

"Sudah - sudah. Semua clear ya? Pak Andi, lusa Pita dan Pak Harun akan menikah. Bapak dan warga di sini bisa ikut menyaksikan agar percaya. Untuk tempat, pihak Pak Harun atau Pita ada yang bisa memberi saran?". Ucap Pak Gunawan dengan suara yang jelas menunjukkan kalau beliau adalah sosok yang bijaksana.

"Di sini saja Pak Gun". Usul Pak Harun.

"Jangan. Biar pernikahan kami dilaksanakan di kediaman Pak Harun saja. Tapi kami akan mengundang seluruh warga disini. Jadi kalian tidak perlu khawatir kalau kami berbohong. Lagipula, bukankah saya memang sudah diusir?"

"Itu terserah kalian. Bukan jadi urusan saya". Sahut Pak Andi dengan sinis.

Keputusan telah dibuat. Pada akhirnya, aku menyerah. Mungkin ini memang pilihan terbaik. Menghadapi keluarga Pak Harun bisa ku pikirkan nanti.

Sementara untuk detail acara, semua akan ditangani oleh karyawan Pak Harun di toko.

**

Sebuah rumah sederhana dengan luas yang mencampai satu hektar itu ramai dengan suara yang saling bersahutan.

"KENAPA HARUS PEREMPUAN ITU?"

Pria berusia sekitar tujuh puluh tahun itu berteriak tidak terima. Sedangkan pria yang lebih muda hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Ia tahu kalau semua yang direncanakannya tidak akan berjalan semudah itu.

"Pah, Pita kurang apa memangnya? Kurang kaya? Kurang berpendidikan? Karena dia anak pembantu?". Jawab si pria muda atau Harun Hardiyanto.

"Kamu sudah tahu alasannya. Papa juga dulu orang miskin. Tapi bukan berarti papa harus mendapat menantu miskin juga".

"Benarkah? Bukan karena Mahendra?".

Pria tua itu langsung mengeraskan rahang begitu nama Mahendra disebut.

"Jangan asal bicara kamu. Tahu apa kamu soal Mahendra?"

Lagi - lagi Harun harus menahan amarah yang sudah mulai menunjukkan eksistensinya sejak penolakan yang dilakukan sang ayah terhadap rencana pernikahannya.

"Pa, kenapa papa harus begini? Biar bagaimana pun juga Mahendra itu memang anak kandung mendiang Om Baharuddin. Sahabat papa".

Mengusap wajah dengan kasar, Harun jelas merasa frustasi. Ia sudah tahu kalau menghadapi sang ayah akan jauh lebih sulit daripada membujuk Pita. Karena walau bagaimana pun, ia harus tetap menikahi gadis muda itu.

"Bahkan seharusnya papa menganggap Mahendra sebagai anak kandung papa sendiri. Seperti yang dilakukan Om Baharuddin pada keluarga kita".

"Menganggap anak? Bocah tidak tahu diri yang tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Bahkan meski papa harus banting tulang--- kamu tetap tidak mendapat apapun dari mereka kalau bukan karena papa yang pintar mengatur rencana"

Entah kalimat apalagi yang harus Harun berikan kepada sang ayah. Sepertinya isi kepala dari pria yang seluruh rambutnya telah memutih itu hanya dipenuhi oleh uang, kekuasaan, dan dendam.

"Sudahlah. Kamu hanya sedang kesepian. Makanya sembarang pilih perempuan untuk dijadikan istri. Kalau kamu benar ingin menikah lagi, papa akan carikan calon yang sepadan".

Pembicaraan itu berakhir ketika sang ayah meninggalkan ruang keluarga--- dan menyisakan Harun yang masih terdiam seorang diri.

Wkwk pendek banget ya part ini?

Maaf ya. Udah gak tepatin janji, eh part nya pendek lagi. Asli dah, aku udah ngetik panjang buat part ini, tapi ku hapus lagi karena tidak memuaskan jiwa perfectsionist ku ini😭

Doakan ya, supaya aku bisa ngetik lancar tanpa harus mikir lama - lama.

Makasih sudah setia menunggu cerita ini.

Jangan lupa Vote dan Comment.

Thank you all. Sampai jumpa di part depan yang akan lebih mendebarkan 😆😆






Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now