8. Mungkin Saja

1.3K 71 2
                                    

"Bu-maaf. Aku-aku bukannya mau buat ibu sama ayah kecewa". Aku menunduk sambil mengepalkan kedua tangan. Menyesal, bingung, entahlah. Aku sendiri juga bingung bagaimana untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini.

"Mba. Sudah dulu. Ibu jangan sampai stres lagi. Kita bicarakan nanti saat semua sudah bisa berpikir jernih". Arkan berucap pelan seraya menuntunku untuk keluar dari ruang UGD tempat ibu terbaring saat ini. Langkah demi langkah kami lalui. Sepertinya Arkan ingin membawaku menuju kantin.

"Bu, pesen teh anget manis satu ya". Ucapnya sebelum membantuku untuk duduk di salah satu kursi yang terletak di paling ujung.

Kami saling terdiam setelahnya. Aku duduk bersandar sambil menatap Arkan yang sibuk mengetuk-ngetukkan jari tangannya di atas meja. Pandangannya menunduk. Menandakan kalau ia sedang berpikir.

"Ini teh angetnya".

Aku menoleh seketika. Seoorang wanita paruh baya berpenampilan sederhana dengan apron berwarna merah mentapku dengan ramah.

"Makasih bu". Jawabku dengan senyuman yang mungkin saja terkesan dibuat-buat.

Kepulan asap menyambutku ketika satu gelas teh tersebut telah tersaji di atas meja. Tanganku membuat gerakan untuk mengipas. Tidak meniupnya. Karena setahuku makanan atau minuman panas itu jangan ditiup.

"Mba Pita, tadi sebelum kita masuk untuk lihat ibu-Pak Harun pamit. Katanya tokonya ada sedikit masalah".

Gerakanku yang sedang mengipas pun langsung terhenti. Aku mengalihkan pandangan. Menatap Arkan kedua alis yang mengerut.

"Terus kenapa?" tanyaku bingung.

"Ya nggak kenapa-kenapa mba. Kali saja mba nyariin".

Aku menatap Arkan penuh selidik. Sedangkan yang ditatap pun hanya mengedikkan kedua bahunya.

"Mba, kalau aku boleh tahu-sebenernya mba itu kenapa nggak turutin saja permintaan ayah sama ibu?"

Menghembuskan napas panjang. Aku mencondongkan tubuh untuk lebih mendekat ke arah Arkan yang posisinya terpisahkan oleh meja bundar berukuran cukup besar.

"Kamu tanya kenapa? Itu hanya bentuk kemustahilan Arkan! Mba sembilan belas tahun lebih muda dari Pak Harun. Kita juga bukan dari keluarga kaya. Pak Harun mungkin bisa menerima kita. Tapi orang tuanya? Adik-adiknya? Menikah itu bukan hanya antara dua orang. Tapi dua keluarga. Lagi pula, mengapa juga mba harus menikah hanya karena permintaan orang lain? Pak RT dan Mba Rani misalnya". Ucapku penuh emosi. Bahkan aku merasakan beberapa orang mulai menatap ke arah kami.

"Mba Pita, mba tadi sudah lihat sendiri kan kondisi ibu? apa mba nggak takut kalau seandainya akan terjadi sesuatu yang lebih buruk kalau mba sendiri masih berkeras hati". Suara Arkan berubah menjadi lebih lembut. Mungkin karena aku menatapnya dengan mata yang sudah berkaca.

"Mba juga takut ibu dan ayah sampai kenapa-kenapa".

"Nah itu mba sendiri juga takut kehilangan mereka kan? Tapi tetap masih bersikeras. Mba itu sadar nggak sih, kalau alasan mba itu sebenarnya hanya ketakutan Mba Pita sendiri aja".

Tersenyum sinis lalu membuang pandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya aku menghapus air mata yang sudah bertumpah ruah entah sejak kapan. Ku tatap Arkan dengan penuh kesungguhan. Menyampaikan isi hati yang tidak akan pernah ada yang memahami.

"Ketakutan mba saja katamu? Mba itu sudah dua kali bertemu keluarga Pak Harun. Ayah, ibu, kedua adiknya, bahkan sampai keluarga besarnya. Dan mereka semua jelas tidak menyukai mba ARKAN!"

"Apa mereka menghina Mba Pita secara langsung? Atau Mba hanya menilai sendiri? Berarti-kalau keluarga Pak Harun merestui, mba mau menikah dengan beliau?"

Jangan Dengar MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang