1. Aku Pita (1)

4K 131 3
                                    

Perkenalkan namaku Pita Lestari. Panggil saja pita. Usiaku dua puluh satu tahun. Saat ini aku bekerja sebagai asisten rumah tangga pada seorang single parent.

Namanya Pak Harun. Duda satu anak. Ia adalah pengusaha Fotocopy yang telah memiliki berpuluh-puluh cabang di kota ini. Usianya saat ini sudah menginjak kepala empat. Beliau telah menduda selama lima tahun karena sang istri meninggal saat aku baru mulai bekerja dengan mereka selama satu minggu. Tepatnya karena terjatuh di dalam kamar mandi yang menyebabkan kepalanya mengalami geger otak.

Ashira. 12 tahun. Ia adalah anak dari Pak Harun dan Almh Ibu Arini. Saat ini sudah masuk Sekolah Menengah Pertama. Pak Harun sangat menyayanginya. Apapun yang ia minta pasti akan Pak Harun kabulkan. Ashira memiliki paras yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi kurang lebih 163 cm. Kulitnya kuning langsat. Memiliki berat badan yang proporsional dan mata yang bulat. Hidung mancung dan bibir tipis.

***

"Mba Pita kemarin lihat dasi pramuka aku ga?" terdegar suara Ashira datang menghampiriku yang sedang menghidangkan sarapan di meja makan.

Seperti biasa hanya ada nasi goreng dengan dua telur mata sapi kesukaan kedua majikanku itu. Dengan segera aku menoleh, "Ngga non. Bukannya biasanya non taruh di laci kamar?".

Suara langkah kaki mulai terdengar mendekat, "Shira sudah berapa kali ayah bilang kamu ini kalau habis meletakkan sesuatu ya diingat-ingat dong. Belajar bertanggung jawab". Jawab Pak Harun.

"Maaf ayah. Sorry mba". Ucap Shira lesu dengan melemaskan bahunya. Aku hanya mengangguk dengan sedikit senyuman. Suasana kembali hening. Mereka sarapan dengan begitu lahapnya. Aku menatap mereka dengan iba.

Sejak kehilangan Bu Arini, rumah ini kehilangan keceriaan yang biasanya terpancar. Ayah dan anak itu hanya saling menyapa saat sarapan. Pak Harun selalu pulang larut saat Ashira sedang belajar di kamarnya.

Sebenarnya kedua orang tuaku telah mengingatkan aku agar berhenti bekerja. Bagaimana pun juga aku adalah seorang wanita. Tak baik wanita dewasa tinggal satu rumah dengan pria dewasa yang sudah tidak beristri walaupun ada Ashira juga.

Cibiran pedas sering diucapkan oleh sesama asisten rumah tangga. Tetapi mengingat ayah yang sedang sakit dan adik-adik yang masih sekolah, aku tak mungkin mundur. Aku dan ibu sama-sama bekerja sebagai asisten rumah tangga. Tetapi gajiku dua kali lipat lebih besar.

"Saya berangkat dulu pita. Nanti malam tidak perlu masak. Saya ingin mengajak Ashira makan malam di luar. Ashira ayah duluan. Nanti sore siap-siap, ayah mau ajak kamu keluar". Pak Harun mengucapkannya dengan sangat datar dan langsung menuju garasi. Lima menit setelah kepergian Pak Harun, Ashira langsung keluar rumah tanpa berpamitan. Memang selalu seperti itu setiap harinya.

***

"Duh enak ya. Yang dapet majikan duda. Jangan-jangan dulu istrinya meninggal juga karena ada yang sengaja dorong lagi. Biar jadi nyonya gitu ceritanya".

Aku mengelus dada. Hal ini sering terjadi. Mereka bahkan terang-terangan mengatakan bahwa selama ini aku telah menggoda Pak Harun makanya beliau sampai tidak menikah lagi. Pak RT juga pernah ke rumah ini untuk menegur kami. Namun Pak Harun selalu bisa beralasan. Beliau mengatakan jika ia selalu pulang larut saat aku sudah tertidur pulas.

Lagipula kami tidak hanya berdua di rumah ini. Ada Ashira juga. Jadi tidak akan ada adegan yang tidak seharusnya. Warga akhirnya tidak lagi ada yang mengungkit. Mereka percaya. Tetapi tetap saja para asisten rumah tangga biang gosip itu terus saja melayangkan fitnah.

"Permisi mbak". Aku menolehkan sedikit senyum. Mereka kemudian mencebikkan bibir. Tetap memandangiku dengan rendah. Suasana belanja menjadi tegang. Bahkan abang sayur selalu terdiam setiap aku sedang berbelanja. Entah karena ikut beranggapan buruk atau karena tidak ingin urusan menjadi memanjang.

"Kamu setiap bulan dibayar berapa sih sama Pak Harun? Heran deh masa cuma pembantu aja pakaiannnya sampe glamor gitu. Lima juta? Sepuluh juta? Oh pasti lebih. Secara kan dipelihara begitu. Yang cuman semalaman aja mahal apalagi yang setiap hari ya? Kasihan sekali nasib Bu Arini suaminya jadi digoda seperti ini". Mba Rani memang ucapannya paling pedas diantara yang lain. Tidak peduli dengan siapapun. Ingin aku menjahit mulutnya yang berbisa itu. Tetapi selalu saja ku tahan. Karena Pak Harun tidak suka dengan orang yang terlibat keributan.

Pernah sekali aku merasa terpancing, dan hasilnya Pak Harun marah besar padaku. Dia bilang aku hanya membuatnya malu. Bahkan jika sekali lagi aku terlibat keributan, ia tak akan segan-segan mengusirku dari rumah ini.

Bayangkan saja, dimana lagi aku bisa mendapatkan gaji tiga juta rupiah sebulan hanya dengan bermodalkan Ijazah SMP. Apalagi hanya dengan keahlian mengurus rumah tangga.

Menurut Pak Harun, kepercayaan memang pantas dibayar mahal. Jika orang lain yang menjadi asisten rumah tangga di rumah ini, bukan mustahil ada kemungkinan hal buruk akan terjadi. Seperti ART yang berharap jadi nyonya hingga menghalalkan segala cara, atau mungkin mempunyai rencana untuk mencuri. Aku harus menjaga kepercayaan yang telah diberikan.

"Apa maksud kamu? Saya biar pembantu juga masih punya harga diri. Tidak seperti kamu yang ganjen". Satu buah tomat mengenai kepalaku. Matanya masih memerah. Raut wajahnya sungguh tak terbaca. Dengan segera aku meninggalkan mereka. Lebih baik berbelanja ke supermarket.

***

Biaya SPP Arkan dua ratus ribu per-bulan, uang les dua ratus ribu, jajan dan ongkos bulanan tiga ratus ribu, belum lagi uang semester Arman tiga juta, uang bulanan enam ratus ribu. Cukup ternyata. Aku menghela nafas. Untung saja. Biaya sekolah dan keperluan Arkan juga Arman memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai anak sulung. Gaji ibu memang sudah dijatah untuk makan sehari-hari. Padahal kami hidup di pinggir kota Jakarta, tapi tetap saja biaya hidup tinggi.

"Kamu sedang apa?".

Aku menoleh ke belakang, terlihat Pak Harun yang baru saja masuk masih dengan kaos putih longgar dan celana bahan hitam. Kurang cocok dengan kulitnya yang berwarna kecoklatan. Beliau menarik kursi yang berada di hadapanku saat ini. Tepatnya di kursi makan.

"Kamu lagi butuh uang? Berapa? Jangan sungkan Pita". Tatapan mata Pak Harun sangat tajam. Aku hanya bisa menggeleng pelan.

"Kamu itu sudah saya anggap sebagai keponakan sendiri. Jangan merasa asing seperti itu". Aku masih dengan wajah bodoh tidak menyadari jika Pak Harun sudah menarik kertas yang ku coret-coret tadi. Beliau mengerutkan keningnya. Kepalanya kembali mendongak, "Apa gaji dari saya masih belum mencukupi?"

"Tidak pak. Gaji yang bapak berikan sudah sangat cukup. Saya hanya sedang menghitung saja. Barangkali ada sisa uang untuk ditabung". Pak Harun tetap menatapku mencari sebuah kilatan kebohongan dari mata sebagai indra yang tak bisa berkilah. Tidak menemukan kebohongan di mataku, akhirnya ia menyerah dan pergi begitu saja menuju kamar utama.

Aku tidak ingin terlalu banyak merepotkan Pak Harun. Selama ini beliau terlalu baik. Bahkan aku diizinkan untuk memakai barang peninggalan Almh Ibu Arini. Kebetulan postur tubuh beliau hanya sedikit lebih berisi dariku. Jadi masih bisa ku gunakan pakaian peninggalan beliau. Itulah alasan para asisten rumah tangga lain selalu mencurigai-ku. Karena pakaian mahal yang mereka kira adalah pakaian baru yang sengaja Pak Harun belikan untuk-ku.

Cukup lama aku termenung. Dengan segera aku merapikan catatan pengeluaran dari atas meja makan. Aku menuju ke dapur untuk membuatkan susu Ashira. Aku melirik ke arah jam dinding yang terletak di area dapur. Ternyata sudah jam tujuh malam. Berarti memang sudah waktunya Ashira untuk minum susu. Sudah menjadi kebiasaan majikan kecil-ku itu untuk minum segelas susu sebelum tidur. Entah apa alasannya. Aku juga kurang memahami tentang dunia kesehatan. Selama ini yang aku tahu hanya memasak, mencuci, dan beres-beres rumah.

Walaupun aku bisa mencuci dan menyetrika, tetap saja Pak Harun tidak mengizinkan aku untuk menyentuh pakaian mereka. Semua sudah diserahkan ke laundry. Manusia memang selalu menilai segala sesuatunya dari luar saja. Benci sekali aku seperti itu. Mereka gak tahu betapa tersiksanya Pak Harun dan Ashira karena kehilangan sosok ibu dan istri. Eh malah seenaknya mencap Pak Harun sebagai pria yang bejat.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now