3. Awal Mula

2K 87 1
                                    

Cuaca hari ini sangat cerah. Musim hujan sepertinya sudah mulai berganti. Aku melirik pada jam tangan murah yang aku beli beberapa bulan lalu. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul dua. Berarti sudah setengah jam aku berdiri menunggu ojek yang lewat.

Biasanya selalu ada ojek yang mangkal  di daerah sini. Aku tidak memiliki ponsel pintar yang bisa digunakan untuk memesan ojek secara online. Dulu pernah hampir membeli, namun ketika ibu mengatakan bahwa  kebutuhan pokok kami hampir habis−sedangkan ibu tidak memiliki uang saat itu, maka aku mengeluarkan uang tabungan yang selama beberapa bulan aku kumpulkan untuk membeli ponsel kepada ibu. 

Tidak begitu penting juga ponsel untuk-ku. Bersyukur sekali aku memiliki teman yang sangat baik seperti Anita−yang selalu memberitahu-ku jika ada pengumuman di Whatsapp grup kelas. Baik yang penting maupun yang tidak terlalu penting. Telpon dan SMS juga sudah cukup bagi siapapun yang ingin menghubungi-ku.

Sudah bermenit-menit, namun tidak satu-pun ojek yang terlihat. Dengan amat terpaksa aku memutuskan untuk berjalan kaki melawan terik matahari demi sampai ke jalan raya. SMK tempat aku menuntut ilmu memang berada di sebuah perkampungan yang lumayan jauh dari jalan raya utama. Aku tidak tahu jarak yang harus ditempuh ketika turun dari angkutan umum. Jika naik ojek konvensional, maka akan dikenai biaya sebesar sepuluh ribu untuk anak sekolah dan lima belas ribu untuk orang dewasa. 

Lima puluh menit waktu yang ku-tempuh dari sekolah yang berada di daerah Kedunghalang Bogor Utara−untuk sampai ke rumah-ku di Bogor Timur. Beberapa meter sebelum sampai rumah, aku melihat seorang ibu dengan badan gemuk dan berpakaian cukup mewah yang sedang berteriak. Berteriak kepada siapa beliau? Sepertinya ada seseorang lagi di depannya? Setelah aku mendekat, ternyata itu adalah ibu-ku. Dan ibu bertubuh gemuk itu sedang mengamuk di depan rumah-ku. Aku berlari mendekat. Ibu terlihat menuduk dalam sambil terisak pelan.

"Ada apa ini?" Ibu gemuk itu langsung mengalihkan pandangan. Ia menatap-ku dari atas hingga bawah.

"Ini anak lu?" tanya Ibu gemuk pada ibu-ku. Hanya anggukan yang mampu ibu berikan sebagai jawaban. 

"Lu harus lunasin hutang ibu-lu. Ini udah enam bulan. Pokoknya gua kasih waktu lima hari. Kalo sampe hari jumat lu masih kagak bayar. Terpaksa anak ini gua bawa ke tempat Mak Odah. Biar banyak ngasilin duit". Astaghfirullah. Mak Odah adalah seorang mucikari. Seberapa banyak hutang yang ibu pinjam memangnya ?

Sambil mengibaskan kipas tangan, akhirnya Ibu gemuk itu pergi. Ibu masih terlihat menangis. Aku mendekat. Mengelus punggung ibu dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah. Ayah hanya terdiam di ruang tamu. Mungkin beliau sudah mendengar semuanya. Sedangkan kedua adik-ku berada di dalam kamar.

Melihat ibu yang masih belum meredakan tangisnya, aku melangkah ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih.

"Ibu gak apa-apa?" ucap-ku sambil terus mengelus punggung ibu.

"Iya udah gak apa-apa".

"Kalau boleh tahu, ibu hutang berapa dengan ibu tadi?"

"Dua juta nak. Ibu pinjam uang untuk biaya SPP kamu dan adik-adik. Ibu tidak membayar saat jatuh tempo. Harusnya ibu lunasi dengan bunga tiga ratus ribu. Karena ibu memohon, akhirnya Bu Mona kasih keringanan ke ibu. Dia kasih waktu enam bulan untuk melunasi sejumlah dua juta tiga ratus, tapi dengan catatan setiap bulan ibu harus bayar denda lima puluh ribu".

Aku menatap ke arah ayah duduk. Wajah-nya terlihat sedang menahan tangis. Aku menghela napas.

"Ya sudah bu. Ibu tenang dulu ya. Nanti aku coba bicara dengan Om Rama. Mungkin dia bisa membantu". Entah mengapa hanya Om Rama yang saat ini melintas dipikiran-ku. Bertaruh saja semoga beliau terketuk pintu hati-nya dan mau membantu kami.

Jangan Dengar MerekaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ