4. Bertemu Budhe Laksmi

1.6K 73 0
                                    


"Assalamualaikum".

Sudah tiga kali aku mengucapkan salam. Namun masih belum ada balasan. Pintu hijau itu masih belum terbuka. Mungkin mereka sudah memulai aktivitas masing-masing. Aku mengedarkan padangan ke sekitar, ternyata memang sudah tidak ada orang lewat lagi. Salah-ku juga sebenarnya berkunjung saat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Aku mengamati rumah ini dengan seksama. Dinding bercat putih yang sudah mulai kusam, dua buah kursi rotan yang mengisi teras rumah yang tidak seberapa besar, dan pintu berwarna hijau lumut. Teras rumah ini tidak diberi pagar karena memang tidak ada lahan lagi. Jendela dengan kaca nako terletak di sisi kanan pintu tepatnya dibelakang dua kursi rotan.

Jarak antar rumah tidak ada sama sekali. Semua berdempetan. Sepertinya rumah disini dulunya adalah sebuah kontrakan berderet atau aku menyebutnya kontrakan bedengan.

"Waalaikumsalam". Terdengar suara kunci pintu yang diputar. Tak lama pintu terbuka.

"Maaf budhe pagi-pagi mengganggu. Aku pikir budhe udah berangkat". Aku tersenyum canggung pada Budhe Laksmi. Aku sebenarnya baru dua kali bertemu beliau. Pertama saat lebaran satu tahun yang lalu, kedua saat kami tidak sengaja berpapasan di angkot ketika aku baru pulang sekolah. Namun melihat beliau yang sangat ramah, akhirnya aku memberanikan diri untuk meminta bantuannya.

"Gak apa-apa. Pita kan ya ? anaknya Koriah ?"

"Iya budhe". Aku menundukkan kepala. Terlalu bingung harus dari mana aku memulai untuk meminta bantuan beliau.

Budhe Laksmi tidak melanjutkan pembicaraan. Beliau menatapku dengan kening yang sedikit berkerut. Aku yakin beliau tahu bahwa aku sedang menyiapkan kata-kata dan memberanikan diri.

"Jadi gini budhe. Hmmm──ayah kan udah gak kerja. Sementara biaya sekolah Arkan dan Arman juga gak sedikit. Hmm──aku mau bantu ibu kerja. Ibu, apa majikan ibu kekurangan ART?"

Wajah Budhe Laksmi berubah menjadi sendu. Aku tidak mengerti mengapa. Berkali-kali ia menghembuskan napas dengan kasar.

"Kenapa kamu mau kerja ? Ibu kamu setiap hari selalu kerja melebihi tugas dia yang seharusnya. Karena dia ingin mendapatkan penghasilan lebih. Supaya anak-anaknya tidak putus sekolah".

"Pita gak bisa biarin ibu berjuang sendirian budhe. Aku tahu kalau selama ini ibu sering nangis diam-diam saat pulang kerja. Kalau ibu sampai sakit, tidak ada yang bisa membantunya. Lagipula, aku ini perempuan. Tidak tamat sekolah tidak apa-apa. Toh nanti juga aku akan menikah dan menjadi ibu rumah tangga saja".

Suara jarum jam terdengar mendominasi. Karena entah sudah beberapa menit kami saling diam.

"Kalau di tempat budhe gak ada. Mungkin di tempat suami ada. Kamu bisa bantu-bantu di toko. Kebetulan toko cabang baru sudah mulai ramai".

Aku tersenyum sangat lebar. Menganggukan kepala dengan sangat gembira.

"Yaudah. Nanti malam kamu ke sini lagi. Biar budhe bantu omongin".

"Iya budhe. Terima kasih banyak".

**

Rumah terasa sepi. Arman dan Arkan sekolah, sedangkan ibu sudah berangkat bekerja. Ayah juga hanya menghabiskan waktu di kamar. Entahlah sedang apa beliau itu. Sejak hari ini aku sudah tidak berangkat sekolah. Aku bingung bagaimana caranya mengundurkan diri dari sekolah. Aku hanya bisa menelpon wali kelas-ku bahwa aku tidak bisa masuk sekolah selama seminggu. Tapi selepas itu ? Aku belum memikirkannya lagi harus bilang apa.

Ada sedikit keraguan ketika aku memutuskan untuk berhenti sekolah sebenarnya. Lulus SMK dan bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi pernah menjadi mimpi-ku. Namun lagi-lagi ketakutan akan biaya dan ketidaksanggupan kami menyadarkan-ku untuk tetap berpikir logis.

Memang apa sih yang harus dilakukan perempuan? menjadi pemimpin? pendidikan tinggi?

Apalagi jika sudah menikah, menelantarkan keluarga demi mengejar karir ? Dalam keluarga-ku tidak ada perempuan yang bekerja dan membiarkan anak-anak mereka diasuh oleh orang lain. Istri Om Rama menjadi pengecualian. Lama aku termenung sambil berbaring di tempat tidurtidak lama terdengar suara pintu kamar diketuk, "Iya kenapa yah?" aku berteriak sambil melompat dan berlari untuk membuka pintu.

"Ayah boleh masuk?"

"Iya. Silahkan ayah". Ayah berjalan mendahului-ku yang masih menutup pintu. Beliau langsung duduk di atas tempat tidur. Aku berjalan menuju tempat ayah duduk dan menempatkan diri di sisi kanan-nya.

"Kamu yakin mau berhenti sekolah?" aku tidak langsung menjawab. Keheningan terjadi selama beberapa menit sebelum akhirnya aku menjawab, "Iya ayah. Toh aku juga bisa belajar sendiri di rumah dan ikut ujian Paket C kan?" Meyakinkan ayah adalah jalan satu-satunya untuk meyakinkan diri sendiri juga. Segoyah apapun batin ini, tetap aku harus berpikir realistis.

"Ya sudah kalau memang itu sudah menjadi keputusan kamu. Ayah berharap yang terbaik saja. Kamu udah cukup dewasa untuk bertanggung jawab. Jangan jadi anak yang labil ya nak. Jangan sampai menyesal". Ayah memeluk-ku erat. Terasa bahu beliau sedikit bergetar. Sepertinya ayah sedang berusaha menahan tangis.

Diantara kami sekeluarga, ayah memang yang paling sensitif. Apalagi jika menyangkut anak-anaknya. Saat Arman kecelakaan motor satu tahun yang lalu, ayah-lah yang paling histeris. Untung-nya Arman hanya mengalami luka luar. Keluarga kami bisa terbilang keluarga yang harmonis. Kesulitan ekonomi menjadikan aku dan adik-adik menjadi anak yang tidak banyak menuntut dan selalu berusaha untuk menjadi mandiri. Ketika sedang membutuhkan uang untuk membeli buku, aku, Arman, dan Arkan biasanya membantu ibu kantin untuk mencuci piring. Sebagai upah, kami diberi makan siang gratis. Pulang sekolah, kami berusaha untuk nebeng teman. Uang jajan kami akhirnya hanya terpakai untuk ongkos berangkat.

**

"Jadi ini Pita pak. Anaknya Koriah tetangga ibu di tempat yang lama. Dia mau minta tolong kita bantu cari pekerjaan". Suami Budhe Laksmi diam menatap-ku. Sorot matanya menyiratkan keraguan. Entah ragu karena apa.

"Kamu bukannya masih sekolah ya kalau bapak tidak salah ingat ?"

"Hmm──ya pak". Suami Budhe Laksmi mengalihkan tatapan ke arah istrinya. Kerutan kening sangat terlihat. Mereka sepertinya sedang mencoba berkomunikasi melalui tatapan. Sedikit berdehem, beliau sekarang seperti ingin berbicara serius.

"Kamu memangnya tidak melanjutkan sekolah? Nak, maaf sebelumnya. Mungkin bapak hanya bisa sedikit menasihati. Kamu masih kecil. Jalan kamu masih panjang. Yakin mau kerja ikut bapak?"

"Yakin pak. Sekolah saya masih bisa ikut ujian Paket C. Setelahnya saya masih bisa kuliah ambil kelas karyawan". Tidak tahu apakah aku masih bisa belajar sambil mengejar ujian Paket C saat sudah bekerja. Jujur saja, aku memiliki fisik yang cukup lemah. Mudah sakit jika terlalu memforsir tenaga ataupun pikiran. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya meyakinkan semua orang bahwa keputusan yang ku-ambil ini sudah tepat.

Tidak terbayang, jika Arman maupun Arkan hanya lulus SMK. Bukannya aku meremehkan SMK, hanya saja──aku ingin agar mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan. Lingkungan yang suportif serta pengalaman menjadi mahasiswa yang tidak di dapatkan jika langsung bekerja. Bisa memang kuliah kelas karyawan──hanya saja, sebagai anak laki-laki mereka harus banyak membangun relasi.

"Iyaa sudah pak"

"Yasudah. Besok kamu ke sini jam enam ya nak. Ikut bapak ke toko. Nanti biar bapak yang bicara dengan Pak Harun supaya kamu bisa bantu di toko yang baru".

"Terima Kasih Pak. Terima kasih banyak. Besok saya akan datang sepagi mungkin. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum." Aku menyalami punggung tangan Budhe Laksmi dan suaminya dengan takzim. Sepanjang perjalanan ku diisi dengan bernyanyi riang dan senyuman yang tidak pernah luntur. Semoga ini adalah awal yang baik. Dimana aku bisa membantu adik-adik untuk memiliki masa depan yang lebih baik agar keluarga kami tak lagi diremehkan.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now