part 8

21.4K 1.3K 21
                                    

Saat Sev menggandengnya keluar dari Stockley House, Sarah memandangnya. Meski hanya tatapan maklum yang didapati Katty dalam kedua bola mata wanita paruh baya yang telah menemaninya entah sejak kapan itu, Katty merasakan teguran halus yang membuatnya jengah.  Sarah dan suaminya memang telah mengucapkan selamat atas pertunangannya dengan Sev, namun tak urung Katty masih merasa Sarah mengetahui hubungan fisik yang telah dia lakukan dengan Sev dan wanita itu, meski dalam diam, tak menyetujuinya.

Kata-kata Sev, ”Malam ini Miss Katty menginap di Drake Castle,” kian memperburuk suasana hatinya. Berbagai aturan norma dan etika menari-nari di kepalanya. Katty setengah linglung ketika masuk kembali ke mobil Sev yang kemudian meluncur ke Drake Castle.

“Lebih baik kau tak usah terlalu memikirkannya,” komentar Sev ringan.

“Eh?” Katty menoleh, menatap heran kepada laki-laki di sebelahnya.

“Katty sayang, kau pikir aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu kan? Aku bisa membaca dengan  jelas apa yang kau pikirkan. Kau, dan wajahmu itu, ibarat buku yang terbuka bagiku. Paham?”

Katty membuang pandangan ke luar, menatap kegelapan malam sebelum mereka membelok memasuki halaman Drake Castle yang megah dan bermandikan cahaya. Begitu mobil berhenti, seakan sudah ditunggu, pintu depan Drake Castle terbuka dan Jolly muncul dengan senyum ramah terukir di wajahnya. Katty mengikuti Sev keluar dari mobil. Meski dia sempat menyegarkan diri di Stockley House namun tidak bisa dipungkiri kalau saat ini yang dia inginkan adalah segera merebahkan diri ke tempat tidur.

“Selamat datang Miss Katty, Master Sev,” Jolly menyambutnya ramah.

Katty tersenyum kepada laki-laki itu. Sama halnya dengan Sarah dan suaminya, Jolly dan istrinya yang tinggal di Drake Castle juga sangat akrab dengannya. Masa lalunya memang telah terikat pada dua rumah yang dibatasi pagar dari rumpun perdu wisteria itu. Sev menggandeng Katty memasuki rumah yang telah begitu familier baginya.

Ketika Katty menolak tawaran sandwich maupun kopi, Sev langsung membimbingnya menaiki tangga dan menuju ke kamar utama yang terletak di sebelah depan. Beberapa bulan setelah ibunya meninggal, Sev memang menempati ruangan yang dulu merupakan ruang pribadi kedua orang tuanya itu. Dulu Katty agak heran ketika Sev mempertahankan semua furniture yang ada di sana. Pria itu hanya meminta pendapat Katty untuk tata letak perabot utama seperti tempat tidur dan nakas, serta memilih bahan dan warna untuk dinding, karpet serta gorden.

Memasuki kamar ini kembali, sesuatu yang dulu sangat sering Katty lakukan, namun dalam konteks yang berbeda, sejenak Katty tertegun di ambang pintu. Dia seolah bisa merasakan kehadiran ayah dan ibu Sev di sana sedang mengawasi mereka berdua. Sejenak bulu kuduknya meremang.

“Kau merasakannya juga?” tanya Sev sambil berbisik di telinga Katty.

Katty mengangguk lemah.

“Aku selalu senang berada di sini karena dengan begitu aku seolah merasakan kehadiran orang tuaku. Tetapi itu selalu terasa kurang karena aku selalu berharap kau ada di sini bersamaku. Hanya kau yang tahu perasaanku tentang kedua orang tuaku, Katty.”

Katty tak pernah meragukan cinta kasih Sev kepada ayah ibunya. Karena Katty merasakan hal serupa. Setelah acara penguburan ibunya dulu, setelah tamu-tamu pulang, berada berdua di rumah yang besar ini, merasakan kekosongan dan kehampaan, Katty dan Sev meringkuk di depan perapian. Mereka bercerita tentang masa lalu dengan derai air mata di pipi keduanya hingga akhirnya dengan berpelukan mereka menangis hingga pagi menjelang.

Sekarang Sev membimbing Katty memasuki ruangan besar yang didesain dengan cita rasa klasik dan abadi, mendekat ke cermin tinggi yang terpasang di salah satu dinding. Begitu tiba di depan cermin, lelaki itu memeluk Katty dari belakang. Kedua lengannya yang besar melingkari pinggang Katty yang mungil sementara tubuhnya yang kokoh menyangga Katty dalam posisi yang menyerukan kepemilikan dan keintiman tak terbantahkan pada mereka.

The Last ChoiceWhere stories live. Discover now