Jeritan Tengah Malam

8.5K 665 40
                                    

"Rumah Belanda lagi, El?" Aku melirik Ellea — adikku, yang berdiri di samping.

"Iya, Kak," balasnya, sembari melihat ke depan.

"Apa kamu belum kapok juga tinggal di Rumah Belanda?"

Ellea menggelengkan kepala. "Kak Alby, takut?" Ia malah menatapku dan tersenyum tipis.

"Menurut kamu?"

Tatapan matanya berubah tajam, "Aura kakak sedikit gelap. Berarti kakak takut." Ia melebarkan senyum.

Bagaimana tidak takut?

Terakhir kali kami tinggal di rumah Belanda, aku sempat diteror oleh sosok Noni Belanda. Bahkan, setelah pindah pun ia terus mengikutiku.

"Kakak sedang memikirkannya?" tanya Ellea.

"Siapa?"

"Hannah."

"Apa dia datang lagi?" Seketika, bulu kuduk ini meremang.

"Seharusnya kakak tidak memikirkannya. Soalnya itu bisa mengundangnya."

"Suruh dia pergi, El!" Jujur, aku masih terbayang dengan wajahnya yang pucat.

"Dia tidak berani mendekati rumah ini."

"Kenapa?"

"Nanti kakak juga tau. Yuk sekarang masuk." Ellea berjalan melewati pintu pagar kayu.

"Bawa barang kamu, El!" perintahku, tapi tak diindahkan. Ia malah berdiri di teras sembari mengedarkan pandangan.

"Apa yang kamu lihat?" tanyaku sembari menenteng dua koper dan berjalan mendekatinya.

"Tidak ada apa-apa, Kak."

"Jangan bohong! Terakhir kali kamu bilang tidak ada apa-apa, eh ternyata ada Kuntilanak Merah."

"Kakak yang memilih rumah itu, kan? Aku cuman tidak mau kakak takut saja."

"Seharusnya kamu jujur dari awal, El! Sekarang kamu harus jawab dengan jujur. Apakah rumah ini aman?"

"Lumayan," balasnya singkat, membuatku sedikit kesal.

"Kakak ganti pertanyaannya. Apakah di rumah ini pernah terjadi sesuatu yang mengerikan?"

Ella mengangguk pelan. Seketika itu tubuhku merinding hebat. Diikuti suasana hati yang mendadak sedih. "Apa kakak bisa merasakannya?"

"Kenapa kakak tiba-tiba jadi sedih? Kamu jangan iseng, El!" omelku.

"Aku hanya mentransfer perasaan salah satu penghuni rumah ini, Kak."

Aku sudah pasrah, baru datang sudah mendapatkan sambutan hangat. Namun, kini tidak bisa berbuat apa-apa. Membujuknya untuk mencari rumah lain pun percuma. Toh, sekarang giliran adikku itu yang memilih rumah.

"Kakak jangan bengong saja. Buka pintunya."

Kuambil kunci di kantong celana, lalu membuka pintu.

Krek! Kriet!

Lagi-lagi, bulu kudukku meremang. Saat udara dingin dari dalam rumah menyentuh kulit.

"Ada dua kamar, aku pilih kamar yang depan," ucapnya sembari berlalu melewatiku yang masih berdiri di dekat pintu. Ia berbelok ke kanan, seakan-akan sudah hafal dengan rumah ini.

Aku memindai setiap sudut ruangan. Dari luar memang tampak seperti rumah Belanda, tapi interior rumahnya sudah lebih modern.

Berbeda dengan rumah Belanda yang sebelumnya. Tempat Hannah tinggal. Ups, aku tak sengaja memikirkannya lagi.

ElleaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon