4. Mengukir Janji Pertemanan

103 31 32
                                    

Revan membuang napas lelah ketika melihat siluet yang tengah bersandar di belokan lorong

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Revan membuang napas lelah ketika melihat siluet yang tengah bersandar di belokan lorong. Dia melanjutkan berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pura-pura tak memperhatikan pemuda berambut coklat yang memiliki tahi lalat di bawah sudut mata kanan.

"Revan," panggilnya tepat saat dia lewat. "Aku mau bicara sesuatu denganmu."

Badannya memutar kaku—sedikit enggan juga menghadap Jekha. Pemuda itu melipat tangannya di atas, ekspresinya terlihat serius. Meski rombongan murid lain tengah lalu lalang di koridor, tatapan mata Jekha tidak sedikitpun goyah. Seolah-olah ia memakukan akar bola matanya pada Revan yang masih diam belum membalas.

Dalam beberapa hari ini, Revan memahami sosok penyelamatnya malam lalu sembunyi-sembunyi. Dari sikap bodoh yang dibuat-buat atau memang bodoh sebenarnya, lalu kecemasan pemuda tersebut saat insiden menimpa anak basket dua hari lalu. Akan tetapi, yang selalu membuatnya tertegun adalah keseriusan dalam wajah Jekha.

Sama seperti Revan menyaksikan Jekha menarik sejumlah lidi kembali untuk menembus perut bayangan hitam yang menggelitik bulu kuduknya. Ada tekad yang menguar dari aura pemuda itu. Dia pun merasakan hal yang sama, di sini. Kala netra keabuan mempertahankan kontak mata dengannya.

Revan memejamkan mata sejenak kemudian membalas tatapnya. "Baiklah, di mana?"

Waktu itu bukan dirinya ikut campur, hanya saja dia merasa tergerak untuk mengikuti langkah dua orang yang tengah terburu-buru. Lagi pula perban di sikutnya perlu dituntaskan. Walau ternyata untuk menanti petugas kesehatan yang tampak akrab sekali dengan Jekha sampai memberinya pemandangan tak masuk logika.

Dia menjadi salah satu pasang mata dari anak basket lainnya untuk menyaksikan itu. Meski pada akhirnya bel yang berdengung membubarkan mereka, Revan tetap di sana.

Anak basket malang menggeliat sakit di bawah pemeriksaan petugas kesehatan yang mengobati lukanya. Sejumlah ruam akibat benturan mulai tampak. Mungkin saat di atas tak terhindarkan menabrak benda-benda keras.

Namun, Revan tiba-tiba tidak mengerjap beberapa detik. Lantaran kejadian di bawah matanya tak mampu dicerna secara logika.

Baiklah, kejadian anak basket melayang juga tidak masuk akal, tetapi apa yang barusan terjadi, menurutnya lebih daripada itu. Petugas kesehatan yang dipanggil Jekha sebagai Kak Dyovor memancarkan sinar ungu gelap dari matanya. Dia layaknya mesin pemindai, menyorot tubuh anak basket malang dengan matanya yang bersinar sampai Jekha menaruh tangannya di bahu Dyovor dan berbicara sarat akan kecemasan.

Revan jadi semakin mengerti.

Jekha dan orang-orang di sekitarnya merupakan manusia dengan kelebihan. Bukan kelebihan tampan seperti yang dibualkan lelaki itu saat malam pertemuan mereka, melainkan kelebihan di atas manusia normal.

"Kamu sudah melihat banyak hal ya," ujar Jekha yang berbalik ketika mereka sampai di atap sekolah.

Revan berhenti memandang sekeliling dengan penasaran dan menatap Jekha sulit diartikan. "Aku melihat banyak hal karena kamu."

✔ Deadly ShadowWhere stories live. Discover now