Rasa Asing

680 36 5
                                    

Galih terdiam terpaku dengan tangan yang masih menggenggam erat kertas yang sedang ia bawa. Sedih, marah, kecewa, bimbang. Tanpa sadar sebulir cairan bening mengalir dari pelupuk matanya, dia terduduk lemas tak bertenaga.

Sesak, mengapa dadaku sangat sesak.
Bukannya memang ini yang aku mau, tapi mengapa rasanya sangat sakit. Mengapa sangat menyakitkan saat membayangkan hidup tanpa kamu di sisiku, Lia.

Galih memukul-mukul dadanya kesetanan, dia meraung memanggil nama Lia berulang diiringi dengan tangisan pilu yang mengiris hati. Para pekerja dengan sangat jelas mendengar tangisan dari sang pemilik rumah.

Mereka turut merasakan kesedihan yang sedang dirasakan oleh tuannya. Namun mereka tentu tidak punya keberanian bahkan hanya untuk mendekat dan memberikan sebuah kalimat penenang.

Kita baru sadar sesuatu itu penting, saat kita sudah kehilangan dan tidak akan pernah bisa memilikinya lagi. Bukankah memang begitu aturan mainnya.

Sudah satu jam berlalu, perlahan suara tangisan mulai mereda. Rumah itu kini diselimuti keheningan. Para pekerja bahkan tidak berani menimbulkan kebisingan saat sedang bekerja.

Galih berjalan menuruni anak tangga dengan menggenggam surat dari Lia. Dia memantapkan hatinya mendatangi seseorang yang dia yakini pasti mengetahui keberadaan Lia saat ini. Mengetahui apa yang selama ini Lia rasakan, apa yang selama ini Lia pendam dan kemungkinan besar mengetahui alasan Lia pergi meninggalkan dirinya.

"Maaf tuan, ada Nona Rania di taman belakang", ujar Pak Tarjo sesaat sebelum Galih melangkahkan kakinya keluar dari pintu utama.

Sebenarnya sudah sejak setengah jam yang lalu Rania datang berkunjung ke rumah, namun karena para pekerja sadar bahwa tuannya sedang berkabaung. Mereka tidak berani mengabarkan kedatangan Rania dan meminta gadis itu menunggu di taman.

Sejenak Galih terdiam, memikirkan apa yang harus dia lakukan, Rania atau Lia. Namun akhir yang sudah diduga, hati kecilnya tidak akan pernah bisa abai terhadap teman masa kecilnya itu.

"Maaf ya, udah buat nunggu lama", ujar Galih seraya berjalan mendekat ke arah Rania yang sedang asyik bermain ayunan di taman belakang.

Rania yang mendengar namanya disebut langsung menoleh dan mendapati sosok yang sejak tadi telah dia tunggu-tunggu.

"Iya nggak papa kok, Gal. Santai aja"

"Oh ya, mbak Lia kemana? Kok tadi aku cari nggak ada ya. Padahal aku pengen belajar masak sama dia. Terakhir dia buatin aku lasagna enak banget"

"Oh, Lia lagi pergi ke rumah nenek, kangen katanya"

Galih tidak ingin Lia terlihat buruk karena pergi dari rumah tanpa izin suami. Meskipun Galih belum yakin dengan perasaannya kepada Lia. Namun dia tidak suka jika ada orang lain yang memandang sebelah mata ke arah Lia.

Padahal selama ini justru dialah yang sering memandang Lia sebelah mata, hanya karena Lia seorang anak yatim piatu yang tiba-tiba menjadi istrinya dan memperoleh seluruh harta keluarga Baskara.

"Kalau mbak Lia nggak ada, kamu longgar nggak? Temenin aku jalan-jalan yuk"

"Aduh gimana ya. Sorry, Ran kayaknya hari ini aku nggak bisa temenin kamu keluar. Soalnya aku lagi ada perlu. Urgent.

"Tapi aku udah jauh-jauh dateng kesini lho. Kamu tega lihat aku pulang dengan tangan kosong kayak gini. Paling enggak kan kamu bisa gantiin mbak Lia buat nemenin aku nglakuin hal lain"

Rania berusaha untuk membujuk Galih agar bersedia untuk menemani dia berbelanja. Namun sayangnya kali ini Galih terlihat tidak mudah luluh. Sehingga Rania memutuskan untuk sedikit bermain drama dengan memasang wajah lugu yang hendak menangis, karena permintaan yang tidak kunjung dipenuhi.

Nyatanya trik ini pun akhirnya berhasil meluluhkan Galih. Dia bersedia untuk mengantar Rania pergi berbelanja, dengan syarat tidak lebih dari dua jam karena dia harus segera menyusul Lia.

Mereka berdua meluncur bersama membelah kemacetan ibu kota dengan perasaaan yang tak sama. Galih dengan masih diliputi kecemasan, takut jika dia terlambat dan berakhir gagal menemukan Lia. Sedangkan Rania dengan perasaaan yang berbunga-bunga karena bisa keluar berdua saja dengan Galih.

Entahlah mungkin ini terlihat sangat murahan. Namun memang benar adanya, bahwa saat ini perasaan Rania begitu bahagia. Tapi dia sadar betul bahwa api rasa ini harus secepatnya dipadamkan sebelum api ini membakar dirinya hingga tak bersisa.

Rania juga dibuat bingung dengan perasaannya ini pada Galih. Sejak kecil dia tumbuh bersama dengan Galih, seluruh perhatian Galih selalu terpusat padanya. Sehingga dia selalu dijadikan nomor satu oleh Galih. Galih bahkan rela hujan-hujanan demi mengambil buku catatan Rania yang tertinggal di kelas saat itu.

Tapi saat itu, Rania sama sekali tidak menaruh perasaan lebih kepada Galih. Baginya Galih dan Gio adalah sahabat karibnya, mereka berdua memiliki posisi yang sama di hati Rania. Tidak ada yang mendominasi.

Namun sayangnya kali ini, semenjak Galih menjadi milik orang lain dan perhatian Galih yang akhirnya terbagi kepada wanita lain membuat sebagian kecil hati Rania merasa tak nyaman. Dia yang terbiasa menjadi nomor satu, merasa sangat tidak senang jika ada wanita lain yang merebut posisinya itu.

Dua orang duduk berdampingan, bercanda, melempar tawa, namun siapa yang sangka bahwa mereka baru saja merasakan geleyar asing di hati mereka, yang masih perlu mereka telaah kepada siapa sebenarnya rasa ini mereka tujukan.

Maaf ya chapter ini cukup pendek, ini lagi sibuk mengurus segala urusan di dunia nyata. Tapi insyaallah aku tetep berusaha untuk bisa selesaikan book ini. Enjoy it
🥰🥰🥰

SurrenderWhere stories live. Discover now