Bab 3: Kalian di jodohkan

812 7 1
                                    

Pip Pip!" Aurora dengan santai mengunci mobilnya dan menata bajunya sebelum melangkah masuk ke dalam restoran.

"Heh, ngapain lo di sini?" Suara familiar dengan nada yang menjengkelkan membuat Aurora langsung tahu siapa yang sedang bicara, tanpa perlu melihat ke arah suara itu berasal.

"Ngejar inspirasi buat jadi master chef. Ya, mau dinner lah sama bonyok gw. Lo sendiri ngapain?" Jawaban sinis Aurora disambut dengan senyuman merekah dari Angkasa. Salah satu kenapa Angkasa sering iseng ke Aurora adalah karena jawabannya yang dianggap imut dan lucu.

"Lah, sama. Gw juga janji sama ortu juga, dinner." Dengan perasaan yang semakin tidak enak, seperti ada ikatan batin yang tak terungkap, Angkasa dan Aurora memutuskan untuk masuk ke dalam restoran bersama-sama. Mereka berdua melangkah dengan langkah hati-hati, seolah-olah berjalan di atas terjal yang penuh tanda tanya.

Dan tanpa terduga, di dalam ruangan VIP yang sudah dipesan, tampak papa, mama, ayah, dan bunda sedang asyik berbincang dan tertawa lepas.

"Eh, anak-anak sudah datang." Bunda Rena memberi sambutan hangat sambil mengajak mereka duduk.

Dan kebetulan atau tidak, Angkasa dan Aurora duduk berdampingan di tengah meja yang panjang. Keduanya merasa seakan diatur sedemikian rupa oleh kedua orang tua mereka.

"Ra, dengar-dengar kamu mulai magang di NFS ya. Selamat sayang. Ini ada kado dari ayah dan bunda buat kamu, semoga sukses selalu ya nak." Bunda Rena memberikan kotak berwarna biru muda yang dihiasi dengan pita."

"Bunda ayah, gak usah repot repot sampai belikan kado. Doa bunda dan ayah aja cukup buat Aurora." Jawab Aurora yang menghangatkan hati Ayah dan Bunda Angkasa. Di satu sisi, melihat interaksi orang tuanya dengan Aurora yang luwes, membuat Angkasa memiliki perasaan aneh tapi dia kurang mengerti perasaan apa ini.

"Ra, gak apa apa, ambil aja hadianya. Kita sudah seperti keluarga." Ujar Ayah Tony yang juga tak mau kalah untuk memberi dukungan.

"Sebentar, bukan cuma kayak aja dong, Ton. Aurora itu bakal jadi anak kamu juga." Kelakar dari Papa Bara mengundang tawa dari semua orang, kecuali Aurora dan Angkasa yang sama-sama kebingungan mencerna.

Mereka saling pandang seolah ingin berkata, "Eh, lo ngerasain hawa aneh ini juga gak?"

"Ayah beneran mau adopsi Aurora?" pertanyaan polos Angkasa mengundang gelak tawa yang semakin kencang.

"Kan ayah sudah bilang Sa. Ngapain ayah adopsi Aurora. Kalau kalian nikah, Aurora otomatis jadi anak ayah juga." Jawaban Ayah Tony membuat pikiran mereka semakin kalut dan berjuta pertanyaan berlarian di pikiran mereka.

"Sepertinya papa yang akan menyampaikan keputusan yang sudah kita sepakati. Jadi begini, Angkasa dan Aurora, sebelum kakek Aurora dan nenek Angkasa meninggal, mereka sempat meninggalkan pesan kalau kalian akan dijodohkan dalam sebuah pernikahan ketika perjalan karir kalian dimulai. Dengan Aurora yang magang dan Angkasa yang sebentar lagi akan bekerja di perusahaan Toni, kita merasa ini adalah waktu yang tepat."

Mereka saling pandang seolah ingin berkata, "Eh, lo ngerasain hawa aneh ini juga gak?"

"Ayah beneran mau adopsi Aurora?" pertanyaan polos Angkasa mengundang gelak tawa yang semakin kencang.

"Kan ayah sudah bilang Sa. Ngapain ayah adopsi Aurora. Kalau kalian nikah, Aurora otomatis jadi anak ayah juga." Jawaban Ayah Tony membuat pikiran mereka semakin kalut dan berjuta pertanyaan berlarian di pikiran mereka.

"Sepertinya papa yang akan menyampaikan keputusan yang sudah kita sepakati. Jadi begini, Angkasa dan Aurora, sebelum kakek Aurora dan nenek Angkasa meninggal, mereka sempat meninggalkan pesan kalau kalian akan dijodohkan dalam sebuah pernikahan ketika perjalan karir kalian dimulai. Dengan Aurora yang magang dan Angkasa yang sebentar lagi akan bekerja di perusahaan Toni, kita merasa ini adalah waktu yang tepat."

Tiba-tiba suasana di meja makan berubah. Ekspresi wajah Angkasa dan Aurora seperti menggambarkan rasa bingung yang dihiasi dengan potongan-potongan puzzle yang berantakan. Muka mereka menunjukkan bahwa menikah dengan satu sama lain itu adalah hal yang menjijikan dan hanya menambah beban hidup.

"Wait, pa ma ayah bunda. Ini beneran Aurora sama Angsa, maksudnya Angkasa dijodohkan dan menikah gitu?!" tanya Aurora dengan ekspresi tercengang dan mencoba mencerna situasi macam apa yang dia hadapi saat ini.

"Sialan, akhirnya cerita tentang orang tua 'mengatur jodoh' ini beneran ada juga," komentar Angkasa dengan wajah yang menggambarkan campuran tidak percaya.

"Kalian berdua jangan panik dulu. Lagipula, kita kan udah saling kenal lama. Sudah kayak saudara sendiri," ujar Mama Grace dengan senyuman yang mencairkan suasana.

"Papa, ini kan zaman modern. Gak ada istilah 'diatur-atur jodoh' lagi Pa." protes Aurora dengan ekspresi serius.

Suasana di meja makan mulai tenang kembali, namun dalam hati Aurora dan Angkasa, kebingungan masih merayap seperti kucing yang mencuri-curi ikan. Dari ejekan dan pertengkaran lucu tadi, mereka tiba-tiba dihadapkan pada keputusan besar dalam hidup mereka. Pernikahan dalam waktu sebulan? Itu lebih cepat dari proses pengiriman paket ekspres!

'Dan Aurora gak mau berjodoh sama si kutu kupret ini Pa!" bisik Aurora ke arah papa mamanya, dengan ekspresi menggertakkan gigi.

"Heh Awowowok! Gw danger ya ucapan lho. Lho pikir gw mau gitu nikah sama lho? HUEKKK! OGAH!" Balas Angkasa dengan ekspresi wajah yang seolah-olah bertemu dengan sesuatu yang sangat menjijikkan.

"Jujur nih ya, gw nikah sama lho, gw korban yang dirugikan disini. Lho kan agak rada rada, gimana bisa jadi kepala rumah tangga! It is unimaginable!" Semakin lama, tangan Aurora semakin keras memukul meja, seakan ingin mengusir semua pemikiran absurd ini.

Namun, tangan Angkasa tak mau kalah, ia juga menegaskan pendiriannya, "Lho harusnya bersyukur kalau bisa nikah sama gw. Bayangkan betapa iri cewek-cewek di kampus sama lho!"

"Hueekkk! Itu karena mereka buta aja atau lho jampi-jampi kali!" Aurora balas menyerang dengan pandangan tajam.

"LHO TUH-" Namun, omongan Angkasa terputus ketika Ayah Tony memotong dengan nada tenang.

"Tuhkan kalau kalian nikah, suasana di rumah pasti happy banget nih dan gak akan bosan."

"Lah yah! Bukannya kalau lihat kita berantem gini harusnya khawatir ya kalau nanti nikah berantemmmm terus." Angkasa merasa kebingungan semakin merajalela.

"Udah udah, kalian duduk dan makan dulu aja." Mama Grace mencoba menghentikan debat lucu ini.

Rena mengambil tangan Aurora dengan lembut, "Ra, bunda tahu bahwa anak bunda memang sangat kekanak-kanakan. Bangun aja masih harus diteriaki setiap harinya. Tapi yang bunda jamin, anak bunda adalah anak yang baik. Dan dengan Aurora yang juga anak baik, bunda dan kita semua disini yakin, kalian bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi."

Aurora tak bisa berkata-kata. Kata-kata yang tadi begitu lancar tak mampu keluar dari mulutnya. Ia tak bisa menahan hati nuraninya yang merasa tak tega menolak semua harapan yang diletakkan di pundaknya dan Angkasa.

Angkasa yang tadinya cerewet dan sering mengeluarkan ucapan kocak, tiba-tiba terdiam. Matanya terfokus pada Aurora yang sedang memikirkan segala hal dengan begitu sungguh-sungguh. Sesuatu berubah di dalam dirinya, seakan dia melihat sisi Aurora yang belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Aurora gak salah, mungkin ini waktu kita untuk mikirin semuanya dengan baik. Aku juga bakal mikirin ini dengan matang." Angkasa akhirnya berbicara dengan nada serius. Kini gantian Aurora yang melihat sisi Angkasa yang lebih dalam, yang bukan hanya sosok bocah gembira dan slengena, tapi juga pria yang memikirkan masa depan.

Makan malam berlanjut dengan para orangtua berusaha menjaga suasana yang ringan. Sementara Aurora dan Angkasa tenggelam dalam pikiran dan keputusan yang harus mereka ambil. Ternyata, di balik ejekan dan guyonan, ada momen-momen serius yang tak terduga, yang merubah pandangan mereka terhadap satu sama lain.

Angkasa & AuroraWhere stories live. Discover now