2

444 38 7
                                    

Barangkali aku terlalu lelap dalam tidur, karena aku bermimpi menari-nari di atas awan yang serba putih. Aku tertawa riang memainkan gumpalan-gumpalan awan laksana permen kapas yang begitu lembut di tangan. Kuberanikan diri mencicipinya, pelan-pelan kumasukan jumputan awan ke rongga mulutku membayangkan manisnya permen kapas itu menyentuh lidahku. Tapi belum sempat aku mengecap, sebuah tepukan lembut mendarat di pipi dan mengembalikan kesadaranku. Aku terbangun, berusaha membuka mata pelan-pelan. Pada awal mata terbuka aku melihat sekeliling tampak kabur, perlahan-lahan setelah mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, pandanganku kembali normal.

"Selamat, Ibu. Anda sudah tiba," sebuah teguran ramah perempuan berseragam putih seterbukanya mataku.

"2005?" pertanyaan pertama yang kulontarkan untuk memastikan aku sudah tiba di tujuan dengan tepat.

Dia mengangguk dengan tersenyum.

Aku menoleh ke ranjang di sebelahku. Tadinya di situ ada Azzam Sima. Sekarang tidak lagi. Ranjang itu telah dikemasi oleh petugas berseragam putih lainnya. Kuraih tangan perempuan yang tadi membangunkanku berusaha bangkit hendak mengutarakan sesuatu tetapi tiba-tiba kurasakan sakit kepala yang luar biasa. Sekeliling terasa berputar hebat. Aku memutuskan untuk baring kembali.

"Kenapa, Ibu?" petugas tersebut memegang pergelangan tanganku dan mengecek denyut jantungku dengan detik arloji tangannya .

"Sakit sekali kepala ini rasanya."

"Kalau begitu, ibu tidak usah buru-buru bangun. Berbaring saja dulu sejenak. Tunggu kurang lebih 15 menit baru bangkit duduk. Nanti jangan buru-buru berdiri. Tunggu 15 menit lagi baru berdiri."

Aku mengangguk mendengar penjelasan petugas itu. Kupandangi pinggang dan kaki. Tidak ada lagi safety belt yang melilit. Begitu pun dua kabel kecil yang ditempelkan di pelipis.

"Badan ini juga terasa lemas. Rasanya mual sekali."

Petugas tersebut tersenyum padaku.

"Tidak apa-apa, Ibu. Untuk beberapa orang memang memberikan efek pusing, mual dan lemas. Tergantung daya tahan tubuh, Kalau tubuhnya fit ketika melakukan perjalanan dengan mesin waktu, tubuhnya cepat menyesuaikan dan segera terlihat normal. Untuk tubuh Ibu sepertinya butuh waktu untuk penyesuaian, jadi seperti kata saya sebelumnya, beri waktu tubuh Ibu memahami perubahan waktu yang terjadi."

Aku mengikuti saran petugas tersebut. Setelah merasa agak baik, aku berdiri pelan dari dipan dituntun petugas itu. Kembali terbersit keinginan bertanya mengenai suamiku. Tetapi, untuk apa? Bukankah aku memang menginginkan sebuah kehidupan baru tanpanya?

20 September 2005.

Hari pertama kerja di Astula Finance. Kulirik jam tangan. Pukul 04.00 WIB. Syukurlah! Masih cukup subuh untuk bersiap-siap. Setelah menandatangani segala macam bentuk administrasi. Aku melangkah keluar Gedung Pelayanan Mesin Waktu. Kupandangi langit gelap yang rasanya begitu berbeda. Kuhirup pelan-pelan udaranya yang terasa lebih segar. Sungguh sebuah penemuan hebat! Aku pantas berterima kasih pada penciptanya. Sebab aku bisa memperbaiki kehidupanku tanpa harus membiarkannya rusak. Ajaib! kehidupan lama yang baru.

Aku tiba di halaman rumah setelah melalui 45 menit perjalanan dengan sebuah kendaraan umum. Seperti maling, kupanjat jeruji pagar dan berjinjit menuju pintu belakang.

"Mazaya?"

Sebuah panggilan menyambutku membuka pintu. Bunda berdiri tepat di hadapan.

"Keluar sepagi ini, darimana?"

Aku berusaha tersenyum tanpa menjawab. Kulangkahkan kaki buru-buru menuju ke kamar.

"Cobalah dijawab kalau orang tua itu bertanya," suara Bunda terdengar kesal padaku.

Perempuan Dalam Kurungan Waktu (TAMAT)Where stories live. Discover now